Oleh : Syaikh Muhammad bin Musa bin Nashr
Allah Subhanahu wa Ta`ala telah mengutus nabi-Nya dan sekaligus pilihan-Nya, Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dengan membawa hidayah dan agama yang benar, supaya Dia memenangkannya di atas segala agama. Maka Allah mengutus beliau untuk seluruh manusia supaya memberi kabar gembira bagi orang-orang yang mau taat dan memberi ancaman bagi mereka yang menolak. Allah menegakkan hujjah dan menerangkan jalan yang lurus, untuk membinasakan orang-orang yang menolak burhan (keterangan itu), dan untuk menghidupkan orang-orang yang mau menerima keterangan itu hingga beliau meninggalkan umat ini di atas syariat yang malamnya seperti siangnya.
Tidak akan menyeleweng seorang pun daripadanya kecuali ia akan binasa, dan tidak akan menolak seorang pun daripadanya kecuali dia akan sesat! Umat ini tidaklah ditinggalkan Rasulullah dalam keadaan kebingungan, tidak tahu jalan, seperti seekor unta yang buta yang tidak bisa melihat mukanya sendiri. Tidak mengetahui antara yang hak dan yang batil, tidak tahu yang gelap dari yang terang. Tetapi beliau menggambarkan kepada umatnya jalan dan menjelaskannya shirathal mustaqim. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An'am: 153)
Oleh karena itu beliau menjelaskan amaliyah manhaj ini.
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membuat garis lurus dengan tangannya, lalu menggaris garis-garis sebelah kanan dan kiri kemudian membaca ayat (surat Al-An'am 153) kemudian meletakkan tangannya di atas jalan yang lurus dan kata beliau: inilah jalan Allah, dan yang ini adalah jalan-jalan lain, tiada satu jalanpun daripadanya melainkan di atasnya ada setan yang menyeru kepadanya." (HR. Nasai, Darimi dll, As-Syaikh Al-Albani menyatakan sanadnya HASAN)
Maka jalan Allah adalah satu, tidak ada duanya (terbilang). Sedangkan jalan-jalan syetan dari kalangan manusia dan jin ini banyak dan bermacam-macam. Mereka semua bertemu dan berkumpul saling bantu-membantu dalam satu kekuatan walaupun jumlah mereka dan keadaannya bermacam-macam. Tetapi mereka memiliki kesamaan warna dan perangai, karena agama kekafiran adalah satu, apapun warna dan rupa, walaupun memakai baju dari kulit domba. Ketika Allah menyebut tentang "nur" yakni Al-Haq, Dia menyebut dengan lafal mufrad (tunggal). Sementara ketika Allah menyebutkan "zhulumat" (kegelapan) yakni isyarat kepada kejahatan (kesesatan) dan simbol-simbolnya, Dia menyebut dengan bentuk jamak (banyak). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah:
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan berbagai kegelapan dan cahaya, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka." (Al-An'am: 1)
Yang dimaksud nur dalam ayat ini adalah shirathal mustaqim yang diperintahkan kepada kaum muslimin bahkan diwajibkan siang maupun malam untuk selalu minta petunjuk (shirathal mustaqim) kepada Rabbnya dan agar selalu istiqamah atas jalan itu sampai bertemu Tuhannya. Karena barang siapa menyimpang dari jalan itu, berarti terjatuh (ke kanan atau ke kiri) yang maknanya terjatuh ke dalam as-subul (jalan-jalan) yang sumbernya dari dua jalan:
Pertama, jalan orang-orang yang dilaknat (Yahudi).
Kedua, adalah jalan mereka yang sesat (Nasrani). Allah berfirman:
"Tunjukanlah kami kejalan yang lurus, yakni jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat." (Al-Fatihah: 6-7)
Dan telah dijelaskan pula martabat orang-orang yang mereka telah diberi nikmat:
"Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi-Nabi,para shaddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih. Mereka itulah teman yang paling baik." (An-Nisa: 69)
Barangsiapa mentaati Allah dan Rasulullah niscaya akan dikumpulkan bersama mereka semua, mudah-mudahan Allah menyatukan dan mengumpulkan kita bersama mereka, dengan karunia, rahmat dan karamah-Nya.
Apabila kita memperhatikan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: "Tiada satu jalan pun melainkan di atasnya ada syetan yang menyeru kepadanya (pada dirinya)", ini menunjukkan kepada jalannya para pemimpin-pemimpin yang sesat dan tokoh-tokoh yang kafir yang mengajak kepada orang-orang untuk mengagungkan dirinya dan menanamkan manhaj mereka yang rusak dan pemikiran mereka yang sesat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
"Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikutkan laknat kepada mereka di dunia ini. Dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah)." (Al-Qashash: 41-42)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya:
"Para da'i yang mengajak ke pintu-pintu neraka Jahannam, barangsiapa mengikuti mereka, niscaya dilemparkan ke dalamnya. Para shahabat bertanya: dari kalangan kita wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Sesungguhnya mereka dari anak-anak yang mempunyai kulit sama dengan kita dan mereka berbahasa dengan bahasa kita." (HR. Bukhari dan Muslim) Dan sungguh! Mereka (para da'i) itu telah bermunculan di mana-mana dan banyak sekali di jaman ini. Mudah-mudahan Allah tidak memperbanyak mereka.
Oleh karena itu, wahai da'i Islam, sabar dan tetaplah di atas shirathal mustaqim dengan mengikuti kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dengan mengikuti pemahaman para pendahulu umat ini (Salafus Shalih) baik dalam hal iman, ilmu, amal shalih serta akhlak mereka. Kemudian berlepas diri dari pemimpin-pemimpin kafir. Sampai Allah mengkokohkan bagi kaum mukminin di muka bumi dan Dia kelak memanggilnya pada suatu hari di mana kaum mukminin akan diberi kebahagiaan dengan pertolongan-Nya. Dengan keperkasaan-Nya, Allah akan berikan yang demikian itu kepada kaum mukminin. (Al-Ashalah edisi Sya'ban 1413 H, hal. 16-17)
Selanjutnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sungguh telah mengkabarkan bahwa umat ini (Islam) akan terpecah menjadi beberapa golongan (kelompok). Bahwa umat ini akan mengikuti sunnah umat-umat sebelum, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
"Sungguh kamu akan mengikuti sunnah (cara hidup) orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan seandainya mereka memasuki lubang biawak pun, tentu kamu akan mengikutinya. Para shahabat bertanya: Apakah (yang dimaksud) Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka!" (HR. Bukhari)
Dan kalau kita meneliti kepada ushul firqah yang sesat niscaya akan kita dapati didalamnya bahwa ushul-ushul mereka itu merupakan cabang-cabang (kalau tidak) dari Yahudi, pasti dari Nashara.
Dan juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengkabarkan bahwa perselisihan dalam umat ini keadaannya lebih banyak dan lebih dahsyat daripada perselisihannya Yahudi dan Nashara. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
"Akan berpecah belah Yahudi dan Nashara menjadi 72 golongan dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali satu. Shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah? Beliau menjawab: mereka itu adalah orang-orang yang mengikuti aku dan para shahabat lakukan hari ini." (HR. Tirmidzi dan Thabrani, HASAN)
Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Kita telah saksikan perpecahan dan perselisihan ini. Nampak di depan kita dengan terangnya bahwa setiap kali datang (berganti) atas manusia dari masa ke masa, terlihat bahwa mereka berselisih dan berpecah lebih banyak dan lebih parah dari sebelumya. Dan untuk menghadapi keadaan yang demikian, Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menuntunkan kepada kita dengan sabdanya:
"Sesungguhnya barangsiapa yang hidup di antara kamu setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa'ur rasyidin. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat petunjuk setelahku dan gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham, dan hati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap yang baru adalah bid'ah." (HR. Ibnu Abi Ashim, Al-Albani mengatakan SHAHIH)
Para shahabat yang masih hidup memahami kemungkinan adanya berbagai perselihan itu. Munculnya Khawarij, Mu'tazilah, dan Rafidhah dan kenyataan penyimpangan-penyimpangan itu merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran terhadap hadits di atas. Namun demikian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah melihat penyakit ini dan kemudian mengkaburkannya. Maka, supaya terhindar dari penyakit ini obatnya adalah berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasul dengan pemahaman salafus shalih. Yang demikian itu telah ditegaskan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam supaya mengikuti sunnah Khulafa'ur Rasyidin karena sunnah mereka tidak akan keluar dari sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Mereka senantiasa tegak dengan kebenaran, selalu berbicara dengan kebenaran. Dan dengan mereka (para shahabat) kebenaran telah tegak dan berkumandang. Allah Subhanahu wa Ta`ala telah memilih mereka menjadi shahabat-shahabat Nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam yang Allah telah ridha kepada mereka dan mereka telah ridha terhadap keputusan Allah. Membuat perkara baru dalam agama merupakan sumber dan pokok kerusakan. Dan hal ini telah diperingatkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan sabdanya:
"Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap yang baru adalah bid'ah dan yang bid'ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi: HASAN SHAHIH)
Sebagian da'i menyangka (dengan sangkaan yang bathil) bahwa sesungguhnya kebanyakan jamaah dakwah nampak dalam keadaan sakit. Maka aku katakan kepadanya: bahwa kebanyakan jamaah-jamaah yang nampak sakit itu, menunjukkan bahwa mereka telah banyak berselisih. Semua perselisihan itu jelek dan setiap yang jelek tidak akan mendatangkan kebaikan! Apalagi sebagian jamaah-jamaah itu mempunyai ajaran-ajaran yang ekornya bersumber dari firqah-firqah yang sesat, seperti: mengkafirkan kaum muslimin yang berbuat maksiat dan dosa, mengingkari hadits ahad, menolak sunnah dan atsar dengan akal dan hawa nafsu, meniadakan asma' dan sifat Allah dll. Dan jamaah-jamaah ini di dalamnya ada perkara-perkara hak dan batil. Setiap apa saja yang dekat kepada al-haq berarti dekat kepada shirathal mustaqim dan setiap apa saja yang menjauhkan dari al-haq berarti lebih dekat kepada orang-orang yang mengikuti subul (jalan-jalan) yang jumlahnya 72 (firqah yang sesat) sebagaimana telah diperingatkan Rasulullah kepada kita.
Dengan demikian, kita harus mengenali kebatilan, pelaku kebatilan, dan manhaj mereka. Sehingga kita akan selamat (dari kebatilannya) dan kemudian berhati-hati (waspada) terhadap mereka. Sebagaimana kita juga harus mengenali jalannya orang-orang yang telah Allah beri nikmat kepada mereka. Mereka adalah Al-Firqah An-Najiyah (kelompok yang selamat). Dan sesungguhnya yang demikian itu harus berdiri tegak dengan ilmu yang shahih. Berada di atas dalil-dalil yang jelas dan hujjah-hujjah yang gamblang dari Al-Kitab dan As-Sunnah As-Shahihah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Yang harus kita fokuskan di sini adalah pemahaman Salafus Shalih sebagaimana yang telah kita sebutkan, karena mereka adalah orang-orang yang tahu cara mengamalkan Al-Qur'an sesuai dengan kenyataan dimana pada waktu itu Nabi masih hidup. Al-Qur'an turun sementara mereka menyaksikannya, sehingga mereka menjadi orang yang dicintai dan diridlai Allah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun menjadi saksi atas kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi'in) kemudian yang mengikuti mereka (tabi'it tabi'in)." (Muttafaqun alaih)
Perselisihan dalam perkara-perkara aqidah tidak pernah terjadi pada Salafus Shalih. Dan ingat! Jangan sekali-sekali kita menengok kepada pengakuan orang-orang yang mengatakan bahwa para shahabat juga berselisih (ikhtilaf) dalam masalah aqidah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (6 / 394) berkata: "Semua perkara yang ada di dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan asma' dan sifat, maka tidaklah akan terjadi perselisihan di kalangan para shahabat dalam takwilnya. Dan sungguh aku telah meneliti tafsir-tafsir yang dinukil dari para shahabat dan hadits-hadits. Atas kehendak Allah, aku mencocoki baik dari kitab-kitab besar maupun kecil yang jumlahnya lebih dari 100 tafsir. Saya tidak dapati sampai jaman saya ini, seorang shahabat pun yang mentakwil ayat-ayat sifat dan hadits-hadits yang berkenaan dengan asma' dan sifat, atau menyelisihi makna zhahir ayat. Berbeda dengan perkataannya Ahlu Takwil yang menyimpang itu. Mereka (para shahabat) menerima dan menetapkannya karena tidak ada yang mengetahui makna nama-nama dan ayat-ayat itu kecuali Allah. Dan yang demikian itu telah disebutkan dalam atsar-atsar mereka dan penyebutan tentang perkara-perkara mengenai mereka sangatlah banyak."
Oleh karena itu, harus diluruskan keyakinan manusia dan diperbaiki manhaj mereka dengan asas dakwah para Rasul dan dakwah sunnah yang shahih. Dan kita harus memperbaharui seluruh perkara-perkara syariah yang telah ditinggalkan dan masalah-masalah aqidah harus diutamakan, karena tidak mungkin mengumpulkan manusia sebelum memperbaiki aqidah mereka. Mengumpulkan manusia yang rusak aqidahnya hanyalah akan menimbulkan pertentangan yang tidak bermanfaat. Bahkan justru akan menjadi penghalang turunnya nashrullah (pertolongan Allah). Dan pertolongan-Nya tidak akan diberikan kepada ahli syirik, ahli khurafat dan pemimpin-pemimpin yang sesat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (Al-Hajj: 40)
Dengan demikian, wajib bagi kita mengikuti jalan kaum mukminin dan menjauhi jalan-jalan kesesatan (subul) yang Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkannya. Dan supaya kita menyelamatkan diri dari tempat-tempat yang akan menjerumuskan kita dari jalan-jalan itu. Hal ini sesungguhnya telah dijelaskan dalam Al-Kitab, As-Sunnah dan juga sejarah. Maka, apakah kita dapat memahaminya? (Al-Ashalah no. 3, 15 Syawal 1413 H.)
*diambil dari milis as-sunnah posting oleh : "M.J. Robbani" <muhjundu@yahoo.com