Bismillah ...

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56).

“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Tauhid adalah perkara yang paling penting dalam agama Islam. Sebagai tujuan diutusnya para Rasul, serta sebagai kewajiban pertama dan terakhir bagi manusia yang berakal.

Pelanggaran terhadapnya adalah bid'ah yang paling besar sebagaiman firman Allah :

“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cinta Kepada Allah

"Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman, ....

Mereka Yang Berjatuhan Dari Dakwah Salafiyah

Namun, bagi mereka yang menghendaki agar dakwah salafiyah inilah yang berkhidmat dan menanggung mereka, lalu dicatat dan mereka ditampakkan sebagai tokoh dalam dakwah ini, hanya karena menisbatkan diri.....

Kesalahan Kesalahan Dalam Beraqidah

..Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat. ...

Menyelewengkan Makna La Ilaha Illallah, Wujud Penyimpangan Aqidah

Tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama untuk diilmui dan didakwahkan. Ia juga merupakan tugas yang paling besar,......

Surat Dari Ibu yang terkoyak hatinya

Anaku…. Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya.

Kamis, 24 Mei 2012

Kedustaan Yang Dinisbatkan Kepada Al Imam Asy Syafi'i Rahimahullah

Penulis : Al Ustadz Abu Asma Andre

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اتّقُواْ اللّهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مّسْلِمُونَ 
 يَآ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْراً وَنِسَآءً وَاتَّقُوْا اللَّهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْباً
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اتّقُواْ اللّهَ وَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماًً
أما بعد: فإن أصدق الكلام كلام الله وخير الهدي هدي محمد  وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.

Pendahuluan

Diantara barang dagangan yang dipakai oleh kaum yang hobinya bertabaruk dengan kuburan adalah sebuah kisah yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Khathib Al Baghdadi rahimahullah didalam Tarikhnya, sebuah kisah yang menceritakan bahwasanya Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah apabila memiliki hajat beliau mendatangi kuburan Al Imam Abu Hanifah dan shalat disana serta berdoa.

Kisah ini adalah kisah yang menakjubkan - asing dan penuh dengan kemusykilan, walaupun pemilik blog http://alhabaib.blogspot.com/2012/02/tabarruk-imam-syafii-khatib-al-baghdadi.html ( selanjutnya disingkat dengan blog alhabaib ) - berusaha untuk mempercayai dan menyebarkan kisah aneh ini - bagaimana tidak aneh, apabila seseorang yang berusaha untuk mendalami aqidah imam empat madzhab - diantaranya Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah, mereka akan menjumpai jauhnya keempat Imam tersebut dari perbuatan - perbuatan kesyirikan seperti ini.

Maka tulisan dibawah ini, adalah dalam rangka menerangkan kepalsuan kisah tersebut, membersihkan kotoran yang dinisbatkan kepada Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah - dan boleh juga dianggap sebagai bantahan terhadap pemilik blog diatas dan propaganda - propagandanya.

Al Imam Al Khathib Al Baghdadi rahimahullah berkata :
أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري ، قال : أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال : نبأنا مُكرم بن أحمد قال : أنبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال : نبأنا علي بن ميمون قال : سمعت الشافعي يقول : إني لأتبرك بأبي حنيفة ، وأجيء إلى قبره في كل يوم - يعني زائراً - فإذا عرضت لي حاجة صليتُ ركعتين وجئت إلى قبره ، وسألت الله تعالى عنده ، فما تبعد عني حتى تُقضى
Telah mengkhabarkan kepada kami Al Qadhi Abu Abdillah Al Husein bin Ali bin Muhammad Al Shamiri berkata : telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Ibrahim Al Muqri berkata : telah menceritakan kepada kami Mukrim bin Ahmad : telah menceritakan kepada kami Umar bin Ishaq bin Ibrahim berkata : telah menceritakan kepada kami Ali bin Maimun berkata : " Aku mendengar Asy Syafi'i berkata : " “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburannya). Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan.” ( Tarikh Baghdad 1/123 )

Bantahan Pertama :

Sanad riwayat ini lemah, bahkan batil. Berkata Syaikh Al Albani rahimahullah didalam Adh Dhaifah 1/99 :
فهذه رواية ضعيفة بل باطلة فإن عمر بن إسحاق بن إبراهيم غير معروف وليس له ذكر في شيء من كتب الرجال ، ويحتمل أن يكون هو " عمرو - بفتح العين - بن إسحاق بن إبراهيم بن حميد بن السكن أبو محمد التونسي وقد ترجمه الخطيب وذكر أنه بخاري قدم بغداد حاجا سنة 341هـ ولم يذكر فيه جرحا ولا تعديلا فهو مجهول الحال ، ويبعد أن يكون هو هذا إذ أن وفاة شيخه علي بن ميمون سنة 247هـ على أكثر الأقوال فبين وفاتيهما نحو مائة سنة فيبعد أن يكون قد أن يكون قد أدركه .
وعلى كل حال فهي رواية ضعيفة لا يقوم على صحتها دليل .ا.هـ.

“ Ini adalah riwayat yang lemah bahkan batil. Karena sesungguhnya perawi yang bernama Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidaklah dikenal. Tidak ada penyebutan tentangnya sedikitpun dalam kitab-kitab tentang perawi. Bisa jadi yang dimaksud adalah ‘Amr (dengan fathah pada ‘ain) bin Ishaq bin Ibrahim bin Humaid bin As Sakan Abu Muhammad At Tunisi. Al Khatib (Al Baghdadi) menyebutkan biografinya dan menyatakan bahwa ia adalah Bukhari (berasal dari Bukhara) datang ke Baghdad dalam rangka menunaikan haji pada tahun 341 H. Tetapi (Al Khatib) tidaklah menyebutkan jarh(celaan), tidak pula ta’diil (pujian) sehingga dalam kondisi ini ia adalah majhuulul haal (keadaannya tidak dikenal). (Tetapi) kemungkinan (bahwa ia adalah ‘Amr) jauh, karena tahun kematian syaikhnya : Ali bin Maymun pada tahun 247 H menurut kebanyakan pendapat. Sehingga jarak kematian antara keduanya adalah sekitar 100 tahun, sehingga jauhlah kemungkinan bahwa keduanya pernah bertemu. Dan riwayat ini lemah sehingga tidaklah bisa ditegakkan dalil atasnya. ”

Dari ucapan Syaikh Al Albani rahimahullah diatas maka dapat diambil beberapa keterangan :
1. Riwayat ini lemah dikarenakan Umar bin Ishaq bin Ibrahim adalah rawi yang majhul - tidak diketahui keadaannya didalam kitab - kitab rawi.

2. Apabila kemungkinannya bukan Umar bin Ishaq bin Ibrahim tapi 'Amr bin Ishaq bin Ibrahim ( sebagaimana dalam blog alhabaib ) maka Al Imam Al Khathib Al Baghdadi rahimahullah didalam Tarikhnya tidak menyebutkan adanya jarh ( celaan ) maupun taa'dil ( pujian ), sehingga rawi dengan status seperti ini adalah majhual haal ( keadaannya tidak dikenal ), maka ucapan didalam blog alhabaib yang mengatakan : " Menurut penjelasan sebahagian ulama lain, ada kemungkinan 'Umar bin Ishaq tersebut adalah `Amr bin Ishaq Al Himsi yang merupakan seorang yang diketahui dan boleh dipercayai. Jika ianya benar, maka tiadalah apa lagi kecacatan pada sanad yang dikemukakan oleh Imam Al Khatib tersebut." maka adalah sebuah penipuan - dikarenakan Al Imam Al Khathib Al Baghdadi tidak berkomentar apa - apa tentangnya - dan apabila anda perhatikan penulis blog alhabaib merubah dari 'Amr bin Ishaq bin Ibrahim At Tunisi menjadi 'Amr bin Ishaq Al Himsi, kalau boleh diajukan pertanyaan : untuk tujuan apakah mereka merubahnya ? saya tidak hendak menduga - duga dan silahkan pembaca untuk memikirkan alasan penulis di blog alhabaib.

Bantahan Kedua :

Adapun penulis blog alhabaib berkata : " Selain daripada itu, perlu diberi perhatian juga bahawa kisah ini turut disampaikan melalui jalan lain, antaranya oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam karya beliau "Al Khairat Al Hisan" yang merupakan manaqib Imam Abu Hanifah pada fasal 35 halaman 129 dengan sanad yang shahih. "

Maka saya katakan : ucapan ini merupakan sebuah penipuan dikarenakan didalam kitab tersebut tidaklah dibawakan apa yang menurut mereka sanad ( apalagi sampai bisa dihukumi sebagai shahih ), penulis Al Khairat Al Hisan berkata : " Ketahuilah bahwasanya senantiasa para ulama apabila mereka memiliki hajat mereka berziarah kekubur Abu Hanifah dan bertawasul kepadanya didalam memenuhi hajat - hajat mereka, diantaranya Imam Asy Syafi'i rahimahullah - apabila berada di Baghdad beliau datang kekubur Abu Hanifah dan...( seterusnya sebagaimana dalam riwayat Al Imam Al Khatib Al Baghdadi diatas - dan anda bisa unduh kitab tersebut di  http://www.aslein.net/showthread.php?t=6777 - yang mana dalam cetakan ini ada di halaman 72 )

Lalu saya ( Abu Asma Andre ) ajukan pertanyaan untuk penulis blog alhabaib : Dimana " jalan yang lain " dalam riwayat ini yang katanya shahih - karena penulis Al Khairat Al Hisan dalam kitab tersebut tidak menyebutkan adanya sanad dalam kisah ini yang memungkinkan menurut standar ilmu hadits bisa saling menguatkan ?

Perkataan penulis blog alhabaib : " Selain daripada itu, perlu diberi perhatian juga bahawa kisah ini turut disampaikan melalui jalan lain, antaranya oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami .." ingin memberi kesan seakan - akan ada jalan riwayat yang lain yang akan ditangkap oleh orang yang membaca bisa saling menguatkan satu dengan yang lain, padahal ternyata tidaklah ada jalan yang lain dalam kitab tersebut.

Begitu juga didalam apa yang disebutkan oleh penulis blog alhabaib dengan : Imam Ibnu Abil Wafa menyebutkan kisah ini dalam "Tabaqat Al Hanafiyyah" pada halaman 519 dengan sanad lain melalui al-Ghaznawi." hal ini serupa dengan bantahan diatas. ( Anda bisa unduh kitab الجواهر المضية في طبقات الحنفية di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=885 )

Apabila dikatakan oleh penulis blog alhabaib : " Tidak ketinggalan para ulama di masa kita ini turut memuatkan kisah ini dalam karya mereka, misalnya Imam Muhammad Zahid al-Kawthari membawa kisah ini dalam "Maqalat al-Kawthariy" pada halaman 453 dan mengatakan bahawa sanad kisah ini adalah bagus (jayyid). Mufti Muhammad Taqi Uthmani memuatkannya dalam karya beliau "Jahan-e-Deedah." "

Maka bagaimana mungkin dikatakan sanadnya baik, sedangkan penjelasannya telah berlalu - didalam kisah ini terdapat rawi yang majhul ?

Bantahan Ketiga :

Ada satu hal yang terluput dipikirkan ( atau sengaja ) oleh orang - orang yang menjadi propaganda cerita dusta ini, yaitu bagaimanakah sikap Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah kepada kuburan ? apakah mengagungkan - berdoa disisi - bertawasul - tabaruk dan mengambil tanah - tanah kuburan ? atau bagaimana ? maka untuk menjawabnya kita serahkan kepada beliau ( Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah ) sendiri, beliau berkata :
وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس
“ Dan aku benci makhluq diagungkan sampai kuburannya dijadikan sebagai masjid, (karena) dikhawatirkan adanya fitnah untuk dirinya dan untuk orang-orang setelahnya.” ( Al Umm karya Imam Asy Syafii 1/317 dan juga dibawakan oleh Al Imam An Nawawi didalam Al Majmu’ 5/314 ).

Dan perhatikan ucapan Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah :
وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“ Dan aku telah melihat para waliyyul amri (pemimpin muslim) di Mekkah yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan. Aku tidak melihat para fuqaha’ ( ulama’ ahli fiqh - dan Al Imam Asy Syafi'i termasuk didalamnya ) mencela hal itu.” ( Al Umm 1/316 karya Imam Asy Syafi’i )*

Menerangkan keadaan ini dan membela pendahulunya Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah dari kedustaan yang dinisbatkan kepada beliau, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam Iqtidha’ Shirathal Mustaqiim 2/692 :
وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل ، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة ، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا ، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين ، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين أفضل من أبي حنيفة وأمثاله من العلماء . فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده . ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم ، ولم يكونوا يتحرون الدعاء لا عند أبي حنيفة ولا غيره .
ثم قد تقدم عند الشافعي ما هو ثابت في كتابه من كراهة تعظيم قبور المخلوقين خشية الفتنة بها ، وإنما يضع مثل هذه الحكايات من يقل علمه ودينه .
“ Yang demikian ini telah dimaklumi kedustaannya secara idhthirar bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang penukilan. Karena sesungguhnya Asy Syafi’i ketika datang ke Baghdad tidak ada di Baghdad kuburan yang sering dikunjungi (khusus) untuk berdoa di sisinya sama sekali. Bahkan tidak pernah dikenal yang demikian di masa Asy Syafi’i. Asy Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, dan Mesir  kuburan-kuburan para Nabi, shahabat, tabi’in, dan orang-orang terdekatnya yang sebenarnya menurut beliau dan menurut kaum muslimin lebih mulia dari Abu Hanifah dan semisalnya dari kalangan para ulama’. Maka mengapa beliau tidak menyengaja datang kecuali ke sana ( kubur Abu Hanifah ). Kemudian, para shahabat Abu Hanifah sendiri yang sempat mendapati kehidupan Abu Hanifah semisal Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, Al Hasan bin Ziyaad dan yang setingkat dengan mereka. Mereka tidak ada yang menyengaja berdoa di sisi kuburan, baik kuburan Abu Hanifah ataupun yang lainnya. Kemudian, telah berlalu penjelasan dari Asy Syafi’i hal yang telah disebutkan dalam kitab beliau  tentang dibencinya pengagungan terhadap kubur para makhluq karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah. Sesungguhnya hikayat yang semacam ini diletakkan oleh orang yang sedikit ilmu dan (pemahaman) Diennya.”

Bantahan Keempat :

Kita angan - angankan kisah ini shahih dan benar Al Imam Asy Syafi'i tawasul dan tabaruk dengan kuburan Al Imam Abu Hanifah ( yang secara kenyataannya tidaklah demikian ), maka coba kita bandingkan dengan sikap seorang ahlul bait - keturunan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam - Ali bin Husein ( cucu Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ) yang diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah dan Imam Abdurrazzaq dimana beliau berdua berkata :

عن علي بن الحسين أنه رأى رجلا يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فقال ألا أحدثك بحديث سمعته من أبي عن جدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا تتخذوا قبري عيدا ولا بيوتكم قبورا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم
“ Dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata : " Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : " Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ ( Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 2/268 dan Imam Abdurrazzaq dalam Mushannaf 3/577 no 6726).

Maka timbul dua pertanyaan bagi orang yang memperbolehkan tawasul dan tabaruk dengan kuburan dan berhujjah dengan kisah Al Imam Asy syafi'i rahimahullah diatas :
1. Apakah kedudukan Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang lebih mulia atau kedudukan Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah ?
2. Apakah lebih mulia kuburan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ataukah kuburan Al Imam Abu Hanifah rahimahullah ?

Kalau jawaban anda : lebih utama Ali bin Husein dan lebih mulia kuburan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka perhatikanlah seorang ahlul bait melarang manusia untuk mendekati kuburan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan berdoa disana, lalu bagaimanakah - kita bisa menerima perbuatan Imam Asy Syafi'i ( kalau kisah Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah diatas shahih ) dan menolak perbuatan Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ? dan hendaknya ini juga sebagai peringatan bagi kaum yang mengaku keturunan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ( ahlul bait - habaib ) agar mereka mencontoh perbuatan nenek moyang mereka.

Kesimpulan dan Penutup :

Inilah tulisan ringkas saya didalam menjelaskan kepalsuan kisah tawasulnya Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah kepada kuburan Al Imam Abu Hanifah rahimahullah, dimana tulisan ini saya buat sambil menemani istri saya yang baru saja melahirkan anak ketiga kami.


Abu Asma Andre
RSIA ANNA Pekayon
13 - 15 Jumadil Akhir 1433 H

سبحانك اللهم وبحمدك اشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

===###===

Catatan Kaki :

* Maka menghancurkan bangunan diatas kuburan adalah perbuatan yang disepakati oleh para fuqaha, sebagaimana nampak dalam ucapan Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah diatas, bukan merupakan sebuah ajaran baru yang dibuat oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sebagaimana tuduhan para pendengki dakwah beliau.


sumber : KEDUSTAAN YANG DINISBATKAN KEPADA AL IMAM ASY SYAFI'I RAHIMAHULLAH

Selasa, 22 Mei 2012

Kesalahan - Kesalahan Dalam Beraqidah

source : fanpop.com
Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.

Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.


1. Kesalahan Memahami Kalimat Lailahailallah
Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat.

Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah

Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Maksudnya adalah pemurnian agama itu hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap sesembahan selainNya. Berdasarkan firman Allah,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” [An-Nahl 36]

Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya. Bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah k saja tanpa diiringi dengan pengingkaran terhadap thagut.

2. Istihzaa’ (Memperolok) Perkara-Perkara Agama
Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman kerena membatasi kebebasan waanita, hukum waris dan lain sebagainya.

Ketahuilah, jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [2]. Berdasarkan dalil.

قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah,"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. [At-Taubah: 65-66]

Dan seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq dan sudah tergelincir di tempat yang sangat berbahaya.

3. Ungkapan Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan menjadi begini dan begini”.
Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah.

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. [Al-Furqan: 2]

Termasuk sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak akan pernah ada satu kejadianpun kecuali dengan iradahNya. Tidak akan ada di alam ini satupun yang keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak akan muncul kecuali karena takdirNya pula. Apa yang ditakdirkan tidak akan pernah meleset. [3]

4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.

Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Al-Mulk : 2]

Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. -tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian

5. Mengeluh Dan Mencela Waktu.
Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat. Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth Alaihissallam.

هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

Ini adalah hari yang amat sulit.. [Huud : 77]

Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Berdasarkan dalil.

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَايَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ

Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. [Al-Faathir : 13]

Jika terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya, maka hal ini termasuk larangan. [4]. Dalilnya.

لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ“ هُوَ الدَّهْرُ

Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.

Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Aku disakiti oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku membolak-balikkan siang dan malam. [HR. Muslim 5862]

Oleh karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah. Keyakinan yang sebenar-benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan dan amalan [5]

6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab !” atau, “Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia akan menjawab, “Hal itu tidak penting karena taqwa itu tempatnya di hati.”

Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil. Rasulullah juga pernah mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau mengucapkannya ? Beliau mengucapkannya ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau berkata.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, jangan saling bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya, jangan menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga kali) Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta dan kehormatannya. [Shahih Muslim 2564]

Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan begini”

Hal ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan apa yang Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.” [HR. Muslim]

Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang secara mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai berikut:

a). Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan mengunjungimu !”

b). Jika dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan disunnahkan. Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji” atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan bershadaqah” Hal ini berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam yang masyhur.

إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعِ نَفَرٍ فَذَكَرَ رَجُلَيْنِ : رَجُلاً أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ رَجُلاً لَمْ يُؤْتِهِ مَالاً لَكِنَّهُ يَقُوْلُ : لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ فُلاَنٍ لَفَعَلْتُ مِثْلَ مَا فََعَلَ قَالَ صلى الله عليه و سلم فَهُوَ فِي اْلأَجْرِ سَوَاءٌ
Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua orang. Seseorang yang diberi harta oleh Allah k lalu ia menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku pasti beramal sebagaimana dia beramal. [Shahih Jami’ 3024]

c). Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.

8. Do’a yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah memanjangkan umurmu” atau, “Semoga Allah mengekalkan hari-harimu”.

Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. [Ar-Rahman : 26-27]

Jika ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh daari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

9. Salah memahami ‘Ibadah’.
Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيمَانِ

Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman. [HR. Muslim]

Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai dengan syari’at)

10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari Hadits.”
Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya. Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ

Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim. [Luqman : 34]

Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya dan merupakan rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan peralatan modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat yang bisa menggoyahkan keimanan.

Maka sebagai jawabannya adalah sebagai berikut. Lafazh “maa” pada ayat tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau bahagia), ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut, lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan dengan empat perkara yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia. [HR. Bukhari]

Pengetahuan terhadap janin masuk dalam takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya kecuali setelah diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya, walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.

11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian) terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain sebagainya.

Rasulullah pernah merubah nama “Murroh” menjadi Zaenab atau Juwairiyah. [6]

12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan sabda Rasulullah.

لاَيَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ

Tidak ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a. [Dihasankan oleh Al-Albani]

Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a. Atau Allah memberikan kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah lebih memperbanyak (pengabulanNya).” [HR Tirmidzi]

Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a juga sudah ditakdirkan oleh Allah.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman, “Berdo'alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. [Ghaafir : 60]

13. Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab, “Karena kebanyakan orang melakukannya.” Jelas ini merupakan jawaban yang tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita saksikan bahwa kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas dengan firman Allah.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya [Al-An’am: 116]

Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di atas kebenaran.

14. Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.

Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla. Lebih parah lagi, seandainya yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah.

فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah: 22]

Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.

Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih gRadhiyallahu 'anhum.

15. Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allahlah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.

اللهُ أَعْلَمَ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah. Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak ? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n secara umum,

مَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ الله أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيْدٌ

Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid.

Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’, karena ta’yin itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz من menunjukkan keumuman, bukan ta’yin (pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan “syahid Fulan.”

16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.

17. Penulisan ص atau SAW untuk mempersingkat صلى الله عليه وسلم
Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu pula orang-orang yang membacanya.

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Barangsiapa bershalawat kepadaku n satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya. [Abu Daud]

Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.

18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”

Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Azza wa Jalla) tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu'laiahi wa asallam,

لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ

Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…” [Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679].

Akan tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah ( khat ) dengan syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan sangat dikabulkan doanya.

19. Mencaci-Maki Syetan.
Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi n ,

لاَ تَسُبُّوْا الشَّيْطَانَ وَ تَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ

Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya. [As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya]

Dan hadits yang lain.

عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ

Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak, dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka terantuklah tungganganya.” Maka aku katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau n bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka setan’. Jika engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah dan dia akan berkata ‘dengan kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’. Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.” [Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237] [7]

Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah Azza wa Jalla.

20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar. [HR. Bukhari 5757, Muslim 2220]

Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih. Oleh karena itu selayaknya bagi kita memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun yang akan terjadi.

Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Pun masih banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin. Wallahu ‘alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Disarikan dari kitab Akhta’un ‘Aqdiyah karya Syeikh Abdurrahman bin Shalih Al-Mahmud dan kitab Alfazh Wa Mafahim karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin disertai beberapa tambahan dari sumber lain oleh Abu Ziyad Ibnu Sofwan – Al-Furqan Gresik
[2]. Lih. At-Tauhid oleh Shalih Fauzan hal. 42
[3]. Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 89 oleh Syaikh Shalih al-Utsaimin
[4]. Untuk lebih jelas, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 22 atau Al-Manahi Al-Syar’iyah hal 74 oleh Syeikh Salim Al-Hilali
[5]. Tentang celaan tidak hanya terbatas pada waktu saja, karena kita juga dilarang mencela kendaraan, angin, ayam jantan dan penyakit panas. Lihat Hashaidul Alsun hal. 156-159 oleh Husein Al-Uwaisyah
[6]. Llihat Fathul Baari no. 6192, Muslim 2140
[7]. Ucapan “Celakalah engkau syaitan!” memberikan kesan, bahwa setan memiliki andil dalam suatu kejadian. Sehingga setan menjadi bangga dengan hal itu. red

sumber : http://almanhaj.or.id/content/1842/slash/0

Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah

source : strongdimi.blogspot.com

.id
.id
Barangkali di antara kita ada yang pernah melontarkan ucapan: “Kenapa sih kita membicarakan permasalahan tauhid terus? Apa tidak ada tema lain yang lebih menarik?” Bagi orang yang belum paham, bisa dimaklumi bila ia mengeluarkan kalimat seperti itu. Namun sangat tidak pantas bila kalimat tersebut muncul dari orang yang telah memahami pentingnya tauhid bagi seorang muslim, yang menunjukkan bahwa ia meremehkan permasalahan yang sangat dijunjung tinggi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para nabi ini.


Telah dimaklumi bahwa poros dakwah para nabi dan rasul, serta sebab mereka diutus adalah untuk tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam banyak firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan-Ku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan tidak ada sesembahan bagi kalian selain-Nya’.” (Al-A’raf: 59)
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوْدًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada kaum ‘Ad Kami mengutus saudara mereka Hud dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 65)

وَإِلَى ثَمُوْدَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Tsamud kami mengutus saudara mereka Shalih dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 73)

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Madyan Kami utus saudara mereka Syu’aib dan dia berkata: ‘Hai kaumku sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 85)

Karena permasalahan tauhid pula Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan kitab-kitab, dan karenanya pula manusia diciptakan.

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah yang Esa dan tidak ada sesembahan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (At-Taubah: 31)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Dari sini kita mengetahui bahwa:

1. Tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama untuk diilmui dan didakwahkan. Ia juga merupakan tugas yang paling besar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Maka berilmulah kamu tentang Laailahaillallah.” (Muhammad: 19)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul agar mereka (memerintahkan): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thagut’.” (An-Nahl: 36)

2. Para nabi memulai dakwah mereka dari sisi tauhid, sehingga tauhid merupakan poros dan tujuan dakwah mereka. Rasul terakhir, Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tinggal di kota Makkah selama 13 tahun menyeru kaumnya kepada tauhidullah dan mendidik para shahabat di atasnya.

3. Al-Qur`an telah menjelaskan kedudukan tauhid dalam banyak tempat dan menjelaskan pula bahaya dari lawannya yaitu syirik, baik terhadap individu ataupun jamaah. Dan kesyirikanlah yang telah menyebabkan kehancuran hidup di dunia dan di akhirat.

4. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan dan mengarahkan para shahabat agar memulai dakwah mereka dengan menyerukan kepada tauhidullah. Sebagaimana perintah beliau kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.”
Di dalam sebuah riwayat disebutkan:

إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ

“Sampai mereka mentauhidkan Allah.”1

5. Tidak diperbolehkan bagi siapapun dan jamaah apapun untuk mengentengkan atau meremehkan permasalahan tauhid.

6. Siapapun dan jamaah apapun bila menganggap enteng permasalahan tauhid mesti akan mengalami kegagalan dan kebinasaan, cepat atau lambat.

7. Muara dari semua kerusakan di muka bumi adalah kerusakan aqidah dan tauhid, sebagaimana sumber dari segala kebaikan di dunia dan di akhirat adalah karena kebagusan aqidah dan tauhid.
(Lihat Al-Firqatun Najiyah hal. 9, 31 dan 32, Asbab Dha’fil Muslimin Amama ‘Aduwwihim karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Manhajus Salaf Fil ‘Aqidah karya Dr. Shalih bin Sa’d As-Suhaimi hal. 6)

Pengaruh لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Tauhid dalam Kehidupan
Para pembaca yang budiman, renungkanlah beberapa buah (hasil) berikut ini, yang nantinya bisa dipetik bila aqidah dan tauhid seseorang itu benar sebagaimana yang telah disebutkan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Ini dimaksudkan dalam rangka membongkar kejahatan orang-orang yang berani menentang aqidah, meremehkannya, atau menomorsekiankan aqidah dalam semua aktivitas dakwah, dan sebagainya.
Pertama: Memerdekakan dan mengeluarkan manusia dari perbudakan kepada manusia menuju penghambaan kepada Rabb manusia semata.

Hal ini karena tauhid merupakan satu bentuk penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan lawannya yaitu syirik merupakan satu bentuk penghambaan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tauhid akan memerdekakan akal setiap manusia dari segala bentuk khurafat dan memerdekakan hati dari penghinaan serta kerendahan, sekaligus memerdekakan hidup mereka dari segala cengkraman kekuasaan thagut yang disembah.

Tauhid dengan makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu, sehingga mereka tampil memancangkan permusuhan kepada para rasul.

Kedua: Menyatukan/memfokuskan amal seseorang berada dalam koridor yang satu.
Karena, ketika orang yang bertauhid bergerak untuk membangun sebuah amalan dalam detik-detik hidupnya, semuanya terarah untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jiwanya tidak tercerai-berai kepada penghambaan di hadapan tuhan-tuhan yang banyak, dalam keadaan dia berusaha mencari keridhaan semuanya. Fenomena seperti ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kesudahannya di dalam sebuah firman-Nya:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً رَجُلاً فِيْهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُوْنَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً

“Allah telah membuat perumpamaan tentang seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang berselisih dan seorang budak yang dimiliki oleh seorang tuan, apakah kedua perumpamaan itu sama?” (Az-Zumar: 29)

Perumpamaan pertama adalah seseorang yang memiliki tuhan yang banyak (yakni orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Dia mengalami kebimbangan dalam mengejar keridhaan tuhan yang banyak tersebut. Adapun perumpamaan kedua adalah seseorang yang tidak menyembah kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.

Ketiga: Menciptakan rasa aman dalam jiwa dan menanamkan kekuatan batin.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُوْنَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيْقَيْنِ أَحَقُّ بِاْلأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

“Bagaimana aku akan takut kepada sesembahan-sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kalian tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak untuk mendapatkan keamanan (dari malapetaka) jika kalian mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanannya dengan kedzaliman (kesyirikan), merekalah yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk.” (Al-An’am: 81-82)

Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan selalu dalam koridor bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kembali kepada-Nya, karena Dialah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu. Sehingga dengan keyakinan ini, tumbuh rasa aman dan percaya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berpasrah diri dan tentram hatinya. Bagaimana hal ini tidak terjadi, sementara dia melihat manusia sebagai makhluk yang tidak sanggup berbuat untuk diri mereka sendiri, lebih-lebih untuk orang lain. Dengarkan apa yang telah diucapkan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam:

يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيْرِي بِآيَاتِ اللهِ فَعَلَى اللهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلاَ تُنْظِرُوْنِ

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal. Karena itu bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku), kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.” (Yunus: 71)
Dan ingatlah ketika Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:

فَكِيْدُوْنِي جَمِيْعًا ثُمَّ لاَ تُنْظِرُوْنِ. إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Jalankanlah tipu daya kalian semua terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 55-56)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menggambarkan jiwa yang telah sampai kepada kepercayaan, ketentraman dan keamanan yang tinggi karena menemukan kekuasaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merasakan betapa rendahnya kedudukan makhluk. Mereka tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dalam urusan mereka (melainkan dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta'ala).

Keempat: Mengokohkan landasan persaudaraan dan persamaan

Islam adalah agama tauhid yang menjadikan seseorang tunduk kepada Rabb mereka. Tidak menjadikan sebagian mereka menjadi tuhan bagi sebagian yang lain, serta tidak menuntut orang lain agar menyembah dan tunduk kepada yang lain. Manusia seluruhnya sama dalam derajat kemanusiaan. Setiap orang yang bertauhid memiliki persamaan hak dan kewajiban. Tidak ada yang melebihi yang lain kecuali dengan takwa dan amal shalih. Mereka tidak berbeda karena perbedaan suku, ras, atau lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Kelima: Mendapatkan ketinggian dan kejayaan
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:

حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِيْنَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Dengan ikhlas kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah. Dan barangsiapa menyekutukan Allah maka dia seakan-akan jatuh dari langit kemudian disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh.” (Al-Hajj: 31)

Ayat ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan ketinggian dan kejayaan, sedangkan kesyirikan adalah kerendahan dan kehinaan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah menyerupakan iman dan tauhid dalam ketinggian, keluasan, dan kemuliaan di langit. Langit itu merupakan tempat naik dan tempat turun, darinya turun ke bumi dan kepadanya naik. Dan Allah menyamakan bahwa meninggalkan keimanan dan ketauhidan, seperti sesuatu yang jatuh dari langit ke tempat yang paling rendah dibarengi dengan rasa sempit yang sangat dan sakit yang bertumpuk-tumpuk, diikuti dengan sambaran burung pada setiap anggota badannya. Lalu setan mencabik-cabiknya, yang dikirim oleh Allah untuk menggiring dan memindahkannya menuju negeri kebinasaan. Kemudian Allah mengirim angin yang menghempaskannya ke tempat yang amat jauh. Itulah jelmaan hawa nafsunya yang akan melemparkan dirinya ke tempat yang rendah dan jauh dari langit.” (I’lamul Muwaqqi’in, hal. 118)

Keenam: Memelihara darah, harta, dan kehormatannya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukannya maka mereka telah memelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah.”2
(lihat Bayanus Syirk wa Wasa`ilihi ‘inda ‘Ulama` Asy-Syafi’iyyah, hal. 6-10 karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis, Laa Ilaha illallah Ma’naha Wa Makanatuha, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 36-41)

Pemaknaan yang Keliru dari Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Ikhlas
Dalam pembahasan edisi yang telah lalu, dijelaskan apa sesungguhnya makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar. Sebuah kalimat tauhid, kalimat ikhlas, kalimat takwa, kalimat Islam, dan kalimat ‘urwatul wutsqa. Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, itulah makna yang benar. Sebuah makna yang singkat namun padat dan memiliki konsekuensi yang demikian banyak. Makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu sehingga mendorong mereka untuk menolak seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memerangi dakwah beliau. Mereka memahami bahwa bila mereka mengikrarkan dan mengucapkan kalimat ini berarti:

a. Harus melepaskan segala keterkaitan dengan sesembahan yang mereka jadikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah, berupa segala bentuk berhala, patung-patung, atau tempat yang dikeramatkan.

b. Harus meninggalkan segala perbudakan hawa nafsu yang menjadikan mereka gandrung dan kecanduan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti merampok, berzina, membunuh, berjudi, minum khamr, berbuat dzalim, dan lain sebagainya.

Inilah realita orang-orang yang telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah: “Orang-orang kafir di masa jahiliyah mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah dengan (seruan beliau) kepada kalimat Laa Ilaha illallah, yaitu mengesakan Allah dalam ketergantungan, dan mengingkari segala sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya. Di saat Rasulullah mengatakan kepada mereka: ‘Ucapkanlah Laa Ilaha illallah!’, mereka berkata: ‘Apakah dia akan menjadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu tuhan? Ini adalah (perbuatan) yang sangat mengherankan.’ Jika engkau mengetahui bahwa orang kafir jahiliyah saja mengetahui makna (yang benar tentang kalimat Laa Ilaha illallah), maka amat naif dan sangat mengherankan jika orang-orang yang mengaku Islam namun tidak mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang kafir jahiliyah. Bahkan mereka justru mengira bahwa cukup hanya mengucapkannya dengan lisan, tanpa hatinya meyakini makna-makna yang dikandungnya. Bahkan kalangan ahli pikir di antara mereka meyakini bahwa makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala (yakni membatasi hanya pada makna itu). Sungguh tidak ada kebaikan bagi seseorang (di dalam Islam) jika orang kafir jahiliyah lebih mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah.” (Kasyfus Syubuhat, hal. 17-18)

Di antara pemaknaan batil dari kalimat ini sebagai berikut:

Pertama: Tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan mengatur kecuali Allah.

Pemaknaan seperti ini adalah batil, karena penafsiran ini hanya terbatas pada tauhid rububiyyah. Makna seperti ini telah diakui dan diyakini oleh kaum musyrikin jahiliyah, akan tetapi tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan tidak menjadikan harta dan darah mereka terjaga.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Kaum musyrikin menetapkan dan mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat pencipta, pemberi rizki. Dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang memberi rizki, menghidupkan dan mematikan melainkan Dia, serta tidak ada yang mengatur kecuali Dia. Dan seluruh langit yang tujuh dan apa yang ada di dalamnya dan bumi yang tujuh seisinya adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya. Jika engkau ingin mengetahui dalil bahwa orang-orang yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersaksikan hal itu, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

“Katakan siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran, penglihatan dan yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan dan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan berkata: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak takut (kepada-Nya)?’.” (Yunus: 31)

قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُوْنَ

“Katakan: Milik siapakah bumi dan segala apa yang ada padanya jika kalian mengetahui? Mereka akan mengatakan Allah, maka katakanlah tidakkah kamu mau sadar. Katakan siapakah Rabbnya langit yang tujuh, Rabb ‘Arsy yang agung? Mereka akan mengatakan milik Allah, maka katakanlah tidaklah kalian mau bertakwa. Katakan, di tangan siapakah kekuasaan terhadap segala sesuatu dan dia tempat berlindung dan tidak akan dilindungi jika kalian mengetahui, mereka akan mengatakan: “Milik Allah, lalu kenapa kalian bisa dipalingkan.’” (Al-Mu’minun: 84-89)
[Lihat Kasyfus Syubuhat hal. 10-11]

Memaknakan Laa Ilahaillallah hanya ke dalam makna tauhid rububiyyah (tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan yang mengatur semua urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala) semata adalah jelas kebatilannya. Jika demikian maknanya niscaya:

1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memerangi mereka, menghalalkan darah, kehormatan, dan harta mereka. Bagaimana mungkin beliau akan memerangi kaum yang benar aqidahnya, jika memang maknanya demikian.

2. Kaum musyrikin tidak akan menentang dan memerangi dakwah serta seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalimat Laa Ilaha illallah.

3. Tidak ada hikmah yang besar dalam hal diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi, karena tauhid rububiyyah ini ditetapkan oleh fitrah setiap manusia.

4. Usaha Iblis dan bala tentaranya tidak begitu berarti dalam penyesatan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnul Qayyim menjelaskan: “Apa yang ditunjukkan oleh kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dalam menetapkan hak peribadatan, lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat اللهُ إِلَهٌ (Allah adalah sesembahan). Karena ucapan ini tidak mengandung makna penafian terhadap sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berbeda dengan ucapan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Kalimat ini menuntut pembatasan hak ibadah itu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menafikan selain-Nya. Salah besar jika ada orang yang menafsirkan makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan ‘Tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah semata’.”
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah menjelaskan: “Jika dikatakan telah jelas makna ‘Al-Ilah’ dan ‘Al-Ilahiyyah’, lalu bagaimana jawaban terhadap orang yang memaknakannya dengan ‘Yang Maha Kuasa untuk menciptakan’ atau ungkapan-ungkapan selainnya (dalam makna tauhid rububiyyah)? Jawabannya dari dua sisi:

Pertama: Ucapan ini termasuk dari ucapan yang mubtada’ (diada-adakan) dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan demikian. Tidak pula para imam, ulama, dan ahli bahasa sekalipun yang (memaknakan) dengan apa yang kita sebutkan. Sehingga ucapan ini adalah batil.

Kedua: Jika kita menerima makna demikian, maka ini memang salah satu kandungan maknanya dan memang semestinya sesembahan yang benar adalah yang berkuasa menciptakan, atau mengadakan dari yang semula tidak ada menjadi ada. Dan jikalau (sesembahan itu) tidak demikian sifatnya, maka dia bukanlah sesembahan yang benar. Namun bukan berarti bahwa orang yang meyakini bahwa makna Al-Ilah adalah tidak ada yang kuasa menciptakan kecuali Allah, dia telah masuk ke dalam Islam dan telah melakukan sesuatu yang dituju yang menjadi kunci pintu keselamatan (surga). Ini tidak diucapkan oleh seorangpun. Karena ini berkonsekuensi bahwa orang-orang kafir Arab di masa dahulu adalah muslimin. Jika ada sebagian orang belakangan ini menganggap demikian, berarti dia telah salah dan telah dibantah oleh dalil-dalil sam’i (naqli) dan aqli.” (Taisiril ‘Aziz Al-Hamid, hal. 80)
Dari pembahasan ini kita mengetahui bahwa:

1. Memaknakan Laa Ilaha illallah dengan ‘tidak ada yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki kecuali Allah’ adalah makna batil.

2. Kaum musyrikin jahiliyah lebih mengetahui makna Laa Ilaha illallah daripada sebagian kaum muslimin sekarang ini.

3. Kaum musyrikin dahulu meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi rizki, dan mengatur alam ini melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

4. Kaum musyrikin jahiliyah dahulu lebih ringan tingkat penyelewengannya terhadap kalimat Laa Ilaha illallah daripada kaum muslimin yang melakukan kesyirikan di masa sekarang ini, ditinjau dari beberapa sisi:

a. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala bila dalam keadaan senang saja. Sedangkan bila mendapatkan malapetaka dan musibah, mereka mengikhlaskan permintaan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun kaum musyrikin (dari kalangan muslimin) sekarang ini, mereka melakukan kesyirikan baik ketika gembira atau mendapatkan ujian dan malapetaka.

b. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pribadi-pribadi yang mulia, seperti para malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih, atau dengan sesuatu yang tidak bisa berbuat apa-apa seperti batu atau pohon-pohon. Adapun kaum musyrikin sekarang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang yang terkenal kerusakan dan kebejatannya di dalam agama. (Kasyfus Syubhat hal. 59 dan seterusnya)

Kedua: Mengeluarkan keyakinan yang benar dari zat segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang benar hanya kepada Dzat Allah.

Memaknakan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan makna ini adalah batil dari banyak sisi:
1. Bertentangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang membolehkan kita untuk meyakini sesuatu selain tentang Allah, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ

“Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin niscaya kalian akan benar-benar melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin.” (At-Takatsur: 5-7)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيُلْغِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِيْنِ، فَإِذَا اسْتَيْقَنَ بِالتَّمَامِ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعَتَا لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila seseorang ragu di dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha menghilangkan keraguannya dan kemudian dia membangunnya di atas keyakinan. Jika dia benar-benar yakin, hendaklah dia sujud dua kali dalam keadaan duduk. Jika dia ternyata shalat lima rakaat berarti dua sujud itu telah menggenapkan shalatnya, dan jika dia shalat empat rakaat berarti dia telah mengundang kemurkaan setan.”3

2. Menyelisihi apa yang dipahami oleh Salafus Shalih umat ini.

3. Meyakini sesuatu yang tertangkap oleh indera dan bisa terjadi, tidaklah menyelisihi tauhid.

Ketiga: Tidak ada sesembahan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna ini adalah batil dan tidak benar secara lahiriah, karena makna ini menafikan kenyataan yang ada dalam hidup. Dalam realita, ada sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disembah oleh hamba-hamba-Nya seperti menyembah kuburan, pohon, tempat keramat, batu-batu, jin-jin, malaikat, para nabi atau para wali.

Dari semua pemaknaan yang batil di atas, kita mengetahui betapa jauhnya sebagian kaum muslimin dari aqidah yang benar dan dari ilmu agama.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Hendaklah diketahui, bahwa kalimat yang agung ini (merupakan prinsip dasar agama Islam dan di atasnya dibangun syariat dan hukum-hukum dan akan terbedakan antara yang halal dan yang haram), merupakan dakwah para rasul dan millah (agama) Ibrahim dan millah Muhammad, yang beliau menyeru umatnya kepadanya dan beliau berjihad di atasnya. Hal ini, karena lafadz kalimat ini sendiri menunjukkan kepada dua perkara, dimana tidak akan terwujud keislaman dan keimanan melainkan dengan keduanya, baik dalam bentuk ilmu, amal dan keyakinan.

(Pertama): Menafikan kesyirikan dalam peribadatan; dan,
(Kedua): Berlepas diri dari kesyirikan dan mengikhlaskan ibadah dalam semua bentuknya. (Mulakhkhas Minhajus Sunnah, hal. 154)
Wallahu a’lam.

1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19, dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.
2 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 20 dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma.
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 864 dan An-Nasa`i no. 1221

-------------
Tulisan diambil dari www. asy.syariah.com
Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah