Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56).
“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Tauhid adalah perkara yang paling penting dalam agama Islam. Sebagai tujuan diutusnya para Rasul, serta sebagai kewajiban pertama dan terakhir bagi manusia yang berakal.
Pelanggaran terhadapnya adalah bid'ah yang paling besar sebagaiman firman Allah :
“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151) --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman, ....
Namun, bagi mereka yang menghendaki agar dakwah salafiyah inilah yang berkhidmat dan menanggung mereka, lalu dicatat dan mereka ditampakkan sebagai tokoh dalam dakwah ini, hanya karena menisbatkan diri.....
..Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat. ...
Firman Allah Ta'ala (artinya):
"Dan diantara manusia ada orang-orang yang mengangkat sembahan-sembahan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)
"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai; itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya."." (Bara'ah/At-Taubah: 24)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Ada tiga perkara, barangsiapa terdapat dalam dirinya ketiga perkara itu, dia pasti merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain; mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah; dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia tidak mau kalau dicampakkan ke dalam api."
Dan disebutkan dalam riwayat lain: "Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman, sebelum…" dst.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma, bahwa ia berkata:
"Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman, sekalipun banyak shalat dan shiyamnya, sehingga dia bersikap demikian. Persahabatan di antara manusia pada umumnya didasarkan atas kepentingan dunia, namun hal itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka."
Ibnu 'Abbas, dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala: "... dan putuslah hubungan antara mereka sama sekali." (Al-Baqarah: 166), ia mengatakan: "yaitu kasih sayang."
Kandungan tulisan ini:
Tafsiran ayat dalam surah Al-Baqarah. Ayat ini menunjukkan barangsiapa mempertuhankan selain Allah dengan mencintainya seperti mencintai Allah maka dia adalah musyrik.
Tafsiran ayat dalam surah Bara'ah/At-Taubah. Ayat ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan cinta kepada yang dicintai Allah wajib didahulukan di atas segala-galanya.
Wajib mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri, keluarga dan harta benda.
Pernyataan "tidak beriman", bukan berarti keluar dari Islam, (tetapi artinya ialah tidak beriman sempurna).
Bahwa iman ada rasa manisnya, kadangkala dapat diperoleh seseorang dan kadangkala tidak.
Disebutkan empat sikap yang merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kewalian dari Allah, dan seseorang tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman kecuali dengan keempat sikap itu.
Pemahaman Ibn 'Abbas terhadap realita, bahwa hubungan persahabatan pada umumnya didasarkan atas kepentingan duniawi.
Tafsiran ayat: "... dan terputuslah segala hubungan antara mereka sama sekali." Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang yang telah dibina orang-orang musyrik di dunia akan terputus sama sekali ketika di akherat, dan masing-masing dari mereka akan melepaskan diri darinya.
Disebutkan bahwa di antara orang-orang musyrik ada yang mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat.
Ancaman terhadap seseorang yang kedelapan perkara tersebut di atas (orang tua, anak-anak, saudara, isteri, kaum keluarga, harta kekayaan, perniagaan dan tempat tinggal) lebih dicintainya daripada agamanya.
Memuja selain Allah dengan mencintainya sebagaimana mencintai Allah, itulah syirik akbar.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.
"Artinya : Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Ta'ala Anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Beliau bersabda : 'Ada'. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ?. Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Beliau menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Beliau bersabda : Ya, da'i - da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Beliau bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama'ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya ? Beliau bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu". (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
Makna Hadits
1. Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar'i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qur'ani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (sabilul Mu'minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebathilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin). Allah berfirman.
"Artinya : Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa". (Al-An'am : 55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula sabilul mu'minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan.
Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.
"Artinya : Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri".
"Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya".
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu. Maka ia berkata : "Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya".
2. Kekokohan Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang : Apakah karena sedikitnya kami waktu itu ? Beliau bersabda : Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya : Wahai Rasulullah, apakah wahn itu ? Beliau bersabda : Mencintai dunia dan takut mati". (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na'im dalam Al-Hailah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa :
Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya.
Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
Kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikitpun.
Kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya :"Artinya : Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah, dimana Allah belum pernah menurunkan satu alasanpun tentangnya". ( Ali-Imran : 151). Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : "Artinya : Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku : Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan ; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; .... dan seterusnya ". (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu)
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan : "Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian ...".
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab : "Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air".
Kemudian apa yang menjadikan "pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit" itu seperti buih yang mengambang di atas air ?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barakahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai "Dakhanun" Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (penghianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu 'Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain.
"Artinya : Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya". (Riwayat Abu Dawud no. 4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau : "Dan didalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi didalamnya ada kekeruhan dan kegelapan". Adapun Al 'Adzimul Abadi dalam 'Aunil Ma'bud XI/316 menukil perkataan Al-Qari yang berkata : "Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)".
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita". Berkata Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36 : "Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab". Sedangkan Al-Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan". Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim.
"Artinya : Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia". (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai da'i atau du'at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jama' dari da'a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat 'Aunil Ma'bud XI/317).
3. Jama'ah minal Muslimin dan bukan Jama'ah Muslimin/'Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan da'wah ilallah, dimana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang menda'wahkan bahwa merekalah Jama'ah Muslimin/Jama'ah 'Umm (Jama'ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berba'iat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a'dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jama'atul Muslimin. Kalaulah Jama'atul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini dimana Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jama'ah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jama'atul Muslimin atau Jama'atul 'Umm (Jama'ah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jama'ah ataupun Imam.
Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jama'ah Muslimin adalah yang tergabung didalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jama'ah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jama'ah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada diantara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : "Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jama'ah adalah Sawadul A'dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas'ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika 'Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama'ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan".
4. Mejauhi Semua Firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jama'ah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami' (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasisme. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemadzhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahannam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah dirubah ...!
5. Jalan Penyelesaiannya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahannam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu.
Dari pernyataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pertama.
Bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat 'Irbadh Ibnu Sariyah.
"Artinya : Barangsiapa yang masih hidup diantara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barangsiapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian". (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits 'Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridlwanalahu Ta'ala 'alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jama'ah Muslimin serta Imamnya.
Kedua.
Di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta'adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara dzahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.
Ketiga.
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh dajjal.
Maraji' :
Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
Al Jami' As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
Haliyatul Auliya' oleh Abu Na'im Al- Ashbahani.
Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
As-Sunnan, oleh Abu Dawud
As-Sunnan, oleh Tirmidzi
Syiar A'lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
'Aunil Ma'bud, oleh Syamsul Al-Abadi
Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
Al-Mustadrak, oleh Hakim
Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal
---------------------------------------------
Tulisan ini disadur dan diringkas dari kutaib yang berjudul "Qaulul Mubin fi Jama'atil Muslimin" karangan Salim bin 'Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa tahun, dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13
Sesungguhnya termasuk hal yang sangat menggembirakan, kita bisa bersua kembali dalam masjid ini, di universitas ini, di tengah saudara-saudara kami, kita bersatu dikalimat yang sama, yaitu kalimat tauhid dan di atas kebesaran Islam. Tema kita di pagi hiri yang cerah ini ialah kebesaran milik Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman. Maksudnya, kebesaran hanya milik Islam semata.
Dalil-dalil yang menunjukan bahwa kejayaan hanya milik Allah, RasulNya dan kaum muslimin serta Islam banyak sekali. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya dan bagi orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahui. [Al-Munafiqun : 8]
Ayat ini menegaskan bahwa kejayaan hanya milik Allah, RasulNya dan kaum mukminin.
Janganlah kamu merasa lemah dan meminta perdamaian, padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu. [Muhammad : 35]
Dan sudah di ketahui bagi orang yang mendalami Al-Quran, ia menetapkan bahwa kalimatullah adalah paling tinggi, sedangkan kalimat orang kafir berada dalam tingkat yang paling rendah. Jadi kebesaran milik Islam dalam kitabullah. Demikian juga, hal ini di tegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga pernyataan dari generasi salaf, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَايَنْبَغِيلِمُسْلِمٍأَنْيُذِلَّنَفْسَهُ
Tidak selayaknya seorang mukmin menghinakan dirinya” [Hadits Riwayat Ahmad]
Ini dalil agar setiap muslim merasa mulia dengan agamanya. Karena Islam mengajarkan al ‘izzah kepadanya.
Perhatikan dialog antara Abu Sufyan yang masih dalam kekufurannya -padawaktu itu- dengan Umar bin Khaththab, tatkala kaum musyrikin mendapatkan kemenangan dalam perang uhud.
Abu Sufyan berkata: Agungkanlah Hubal, kemudian nabi memerintahkan Umar bin Khaththab untuk menyanggah dengan (perkataan) : ”Allah lebih besar dan lebih tinggi”.
Ini merupakan sebagian dalil dari al kitab dan as Sunnah yang menunjukan bahwa izzah (kebesaran) hanya milik Allah, RasulNya dan Islam.
Apabila kita telah mengetahui bahwa kebesaran itu milik Islam, apakah yang dimaksud dengan izzah dalam Islam, dan bagaimana Islam bisa mengangkat kaum muslimin dari konsep kebesaran jahiliyah menuju kosep izzah imani. Renungkanlah ayat ini, kita lihat dan bandingkanlah. "Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [Al–Munafiqun : 8]
Lihatlah, Abdullah bin Ubay bin Salul, pimpinan kaum munafqin dalam perang bani Musthaliq. Setelah orang-orang pulang dari perang tersebut –termasuk Rasulullah- dia memunculkan ide penyebaran hadits ifk (berita palsu). Dia menuduh ummul mukminin ash Shiddiqah bin ash Shiddiq (‘Aisyah) dengan tuduhan zina. Wal iyyadzu billah.
Lihatlah, ia mengalihkan peperangan ke rumah beliau, pada kehormatan beliau. Dalam suasana panas penuh isu, simpang-siur sarat berita bohong, orang munafik ini ingin memanfaatkan kesempatan ini, atau ingin menghantam beliau, atau ingin memancing dalam air keruh.
Pada situasi demikian ia mengatakan: لَئِنرَّجَعْنَآإِلَىالْمَدِينَةِلَيُخْرِجَنَّاْلأَعَزُّمِنْهَااْلأَذَلَّ (Sesungguhnya jika telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya). Yang ia maksud dengan orang yang kuat adalah dia sendiri. Sedangkan yang ia maksud orang yang lemah adalah Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah konsep izzah dalam kaca mata jahiliyah, membanggakan diri, membanggakan kedudukan sosial, dengan nasab, nenek moyang, golongan, banyaknya pengikut, banyaknya harta, dengan jabatan dan harta. Inilah izzah menurut jahiliyah.
Dalam masalah berita palsu ini, Allah tidak membiarkan ada orang yang membantah para penyebar isu berita palsu tersebut. Yang membantah adalah langsung Allah sendiri. Allah merehabilitasi nama baik Ummul Mukminin dalam sebelas ayat pertama dari surat An-Nur. Sementara di dalam surat Al-Munafiqin, Allah membantah Abdullah bin Ubay bin Salul (dengan firmanNya).
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [Al-Munafiqun : 8]
Firman Allah ini seolah-olah mengatakan, tidak ada kebesaran kecuali milik Allah. Dialah yang maha perkasa dan bijak, Maha kuat dan perkasa.Tidak ada kebesaran, kecuali milik Allah. Tidak ada kejayaan, kecuali bersama dengan Allah.
Siapa saja yang tergantung dengan yang maha kuat, niscaya ia menjadi insan yang kuat. Oleh karena itu, Rasulullah berpegang dengan Allah, sehingga ia menjadi kuat. Dan demikian pula dengan kaum mukminin, mereka berpegang kepada Allah dan RasulNya, mereka menjadi insan–insan yang kuat.
Inilah makna izzah dalam kosep imani, bangga diri dengan agama, dengan Allah, Rasul, amal shalih, ilmu yang bermanfaat, serta dakwah kepada Allah. Lihatlah, bagaimana konsep Islam mengangkat manusia dari permukaan bumi menuju ketinggian izzah. Menuju tingginya tekad. Kendatipun jasad-jasad mereka bersentuhan dengan yang ada di bumi, tetapi jiwa-jiwa mereka terikat dengan malail a’la (majlis yang paling tinggi), dengan kenikmatan-kenikmatan yang ada di sisi Allah. Jadi izzah milik Islam.
Apakah (yang menjadi) sumbernya?
Sudah kami katakan tadi, bahwa tidak ada kebesaran kecuali milik Allah. Dan siapa saja yang bersama dengan yang maha perkasa, ia menjadi perkasa Dan siapa saja yang mencari kejayaan dengan selain Allah, niscaya akan hina.
Faktor paling besar yang mendukung kukuhnya izzah ini, adalah aqidah Islamiyyah. aqidah ini bertumpu pada tauhidullah (mentauhidkan Allah), terhadap dzatNya, tindakan-tindakanNya dan asma wa sifatNya,Tidak ada dzat yang berhak di sembah kecuali Allah. Karena itu, barang siapa menyambah Allah, ia menjadi insan yang perkasa. Dan orang yang meyekutukan Allah, akan menjadi manusia hina. Allah-lah yang mengangkat derajat atau menghinakan seseorang. Allah berfirman .
وَتُعِزُّمَنتَشَاءُوَتُذِلُّمَنتَشَاءُ
Dan Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. [Ali–Imron : 26]
Barang siapa konsisten pada aqidah yang benar dan tauhid yang lurus, niscaya Alloh akan memuliakannya dengan aqidah dan agama ini. Dan barang siapa yang menyimpang darinya, hendaknya tidak mencela kecuali dirinya sendiri saja.
Faktor lain yang juga dapat mewujudkan ‘ izzah adalah manhaj. Oleh karena itu, Alloh berfirman.
Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata : “Sesungguhnya aku termsuk orang–orang yang berserah diri.” [Fushiliat : 33]
Lihatah, setelah ia berpegangan dengan manhaj dan dakwah, kemudian mempunyai rasa bangga dengan agama. Dia mengumandangkan suaranya, bahwa ia seorang muslim, termasuk yang bertauhid kepada Allah dan mengikuti Allah dan RasulNya. Firman Allah :
وَمَنْأَحْسَنُقَوْلًا
(Dan siapakah yang lebih baik perkataannya …), maka jawabannya, tidak ada seorang pun yang lebih baik darinya. Dalam ayat ini Allah mengikat dakwah dengan manhaj. Baru kemudian mengerjakan amalan shalih. Setelah itu, akhirnya ia bangga dengan Islam.
Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat diterimanya amalan shalih, ada syarat sah dan syarat kamal (kesempurnaan).
Tentang syarat sah diterimanya amal adalah ikhls bagi Allah dan ittiba’ kepada Nabi. Sedangkan syarat kesempurnaannya amal ialah.
Pertama : Seseorang harus menggenggam agamanya dengan kuat. Allah berfirman.
يَايَحْيَىٰخُذِالْكِتَابَبِقُوَّةٍ
Hai, Yahya. Ambillah Al–Kitab (Taurat) itu dengan sungguh–sungguh. [Maryam : 12]
Allah berfirman :
خُذُوامَاآتَيْنَاكُمبِقُوَّةٍ
"Pegangilah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu” [Al–Baqarah : 63]
Dan yang dimaksud dengan quwwah ini adalah berbangga diri dengan agama Islam.
Kedua : Tidak malas beramal shalih dan menyegerakan diri dalam mengerjakan amal kebaikan maupun ketaatan.
Sumber kemuliaan Islam yang lain, yaitu menjadi seorang muslim yang mempunyai ciri khas tersendiri dalam aqidah, cara–cara beribadah, penampilan lahiriah atau batiniah.
Dalam seluruh aspek, seorang muslim memiliki ciri khas tersendiri. Umat Islam memiliki nilai istimewa dengan menonjolnya kebaikannya. Allah berfirman :
كُنتُمْخَيْرَأُمَّةٍأُخْرِجَتْلِلنَّاسِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” [Al–Imran : 110]
Memiliki nilai tersendiri sebagai umat yang adil dan pilihan. Allah berfirman :
وَكَذَٰلِكَجَعَلْنَاكُمْأُمَّةًوَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kami (umat Islam), sebagai umat yang adil dan pilihan” [Al–Baqarah : 143]
Mereka menjadi saksi–saksi Allah di bumi. Lihatlah nilai istimewa yang dimiliki kaum Muslimin dalam ayat.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang–orang yang telah Engkau anugerahkan kenikmatan kepada mereka, bukan (jalan) yang dimurkai Allah (yaitu : Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (yaitu : Nashara” )" [Al–Fatihah : 6–7]
"Tunjukilah kami wahai Rabb ke jalan yang benar dan lurus, bukan jalan orang–orang yang dimurkai Allah, yaitu kaum Yahudi. Juga bukan jalan orang–orang yang sesat, yaitu kaum Nashara. Seorang muslim berbeda dengan Yahudi dan Nashara, penganut agama dan golongan lain. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salaam melarang tasyabbuh (berserupa) dengan orang–orang kafir. Larangan itu tertuang dalam nasihat beliau yang sangat mengagumkan.
"Aku diutus dengan pedang, saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah. Ditimpakan kehinaan dan kerendahan pada orang yang menentang perintahku. Rezekiku ditetapkan berada di bawah ujung tombak. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya ia termasuk dari mereka” [Hadits Riwayat Ahmad]
“Aku diutus dengan pedang saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah”
Ini adalah ‘izzatul Islam. Kita memperjuangkan Islam sampai orang–orang menyembah Pencipta mereka. Kita berjuang untuk mengeluarkan orang–orang dari kegelapan menuju cahaya. Kita memperjuangkan Islam dengan kata–kata, dakwah, dengan hujjah dan burhan sebelum memasuki perjuangan dengan pedang, di setiap tempat dan moment.
Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa salaam mengatakan :
Banyak sekali faidah yang dapat dipetik dari pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat. Berbagai peristiwa yang terjadi di awal Islam tersebut sarat dengan ibrah (pelajaran). Tentunya kami tidak mampu menyuguhkan sejarah perpecahan itu secara terperinci, akan tetapi ada beberapa point yang dapat kita jadikan pelajaran. Sembari meluruskan beberapa persepsi keliru sebagian orang sekitar masalah tersebut dewasa ini.
Pertama
Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa i'tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali di dengar oleh kaum muslimin dan para sahabat adalah aqidah Saba'iyah yang merupakan cikal bakal aqidah Syi'ah dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan di tengah-tengah kaum muslimin. Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan.
Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari mereka.
Hal ini ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama kali muncul yang menyelisihi asas Islam dan Sunnah.
Adapun kelompok sempalan yang pertama kali muncul yang memisahkan diri dari imam kaum muslimin adalah kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari aqidah Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba'iyah. Perlu diketahui bahwa Saba'iyah ini terpecah menjadi dua kelompok utama : Khawarij dan Syi'ah.
Kendati antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar pemikirannya setali tiga uang. Baik Khawarij maupun Syi'ah meuncul pada peristiwa fitnah atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu. Fitnah diprakarsai oleh Abdullah bin Saba' lewat ide, keyakinan dan gerakannya. Dari situlah muncrat aqidah sesat, yaitu aqidah Syi'ah dan Khawarij.
Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin, yakni dengan istilah yang mereka namakan blok kanan dan blok kiri. Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif, ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu sama lain saling bermusuhan.
Kedua
Ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi diantara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitment terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat. Tidak ada seorang sahabat-pun yang memisahkan diri dari jama'ah. Tidak ada satupun diantara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada perkara baru dalam agama.
Sungguh, para sahabat merupakan imam dalam agama yang mesti diteladani oleh kaum muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah dari jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan sumber perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar! Hanyalah dusta dan kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat.
Sangat keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal bakal kaum sufi, Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu, mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal! Jelas itu semua merupakan kebatilan murni! [a]
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu 'anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya.
Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah pasti terjadi!
Tokoh-Tokoh Ahli Bid'ah
Setelah berbicara tentang sejarah perpecahan umat, ada baiknya kita lanjutkan pembicaraan tentang asal usul bid'ah. Guna mengetahui tokoh-tokoh pencetus kelompok-kelompok sesat yang merupakan biang perpecahan. Yaitu oknum-oknum yang mengusung bid'ah tersebut hingga menjadi pemimpin-pemimpin sesat sampai hari Kiamat. Hingga sepeninggal mereka, terbuka lebarlah pintu perpecahan, semakin bertambahlah orang-orang yang menyesatkan. Di antara oknum-oknum tersebut ialah.
[1] Pelopor perpecahan : Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi, seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam. berikut pengikut dan konco-konconya. Ide kotornya pertama kali muncul sekitar tahun 34H. Ibnu Sauda' ini memadukan antara bid'ah Khawarij dan Syi'ah.
[2] Setelah itu Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80H) meluncurkan pemikiran bid'ah seputar masalah takdir sekitar tahun 64H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid'ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.
[3] Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98H. Dan juga dalam masalah ta'wil, ta'thil (mengingkari sebagian siaft-sifat Allah) dan masalah irja[1] Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid'ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid'ahnya. Ghailan ini akhirnya dibunuh setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105H.
[4] Setelah itu muncullah Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H). Ia mengembangkan pendapat pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid'ah Qadariyah dengan bid'ah Mu'aththilah[2] dan ahli ta'wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-Ja'd ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras.
Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat 'Idul Adha : "Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja'd bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara ...... dan seterusnya". Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124H.
[5] Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid'ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta menambah bid'ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid'ah Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja'd, bahkan ia menambah lagi dengan bid'ah ta'thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja', bid'ah Jabariyah[3], bid'ah Kalam[4], tidak meyakini Allah bersemayam di atas Arsy, menolak sifat Al-'Uluw (yang maha tinggi) bagi Allah, menolak ru'yah[5]. Al-Jahm dihukum mati pada tahun 128H
[6] Dalam waktu yang bersamaan, munculah pula Washil bin Atha' dan Amr bin Ubeid. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah Qadariyah.
Setelah itu terbukalah pintu perpecahan. Kelompok Rafidhah mulai berani menyatakan terang-terangan aqidah dan keyakinannya. Kemudian sekte Syi'ah ini terpecah belah menjadi beberapa golongan. Lalu muncullah kaum Musyabbihah[6] dari kalangan Syi'ah melalui tokoh-tokohnya seperti Daud Al-Jawaribi, Hisyam bin Al-Hakam, Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak dasar ajaran Musyabbihah dan pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut ajaran Syi'ah.
Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah[7], Al-Asy'ariyah[8] dan Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan ahli-ahli filsafat. dengan demikian, pintu perpecahan terbuka luas bagi setiap orang sesat, ahli bid'ah dan pengiku hawa nafsu. Sehingga tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum muslimin sekarang ini.
Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih terlihat di antara kaum muslimin. Bahkan terus bertambah dengan muculnya bid'ah-bid'ah dan penyimpangan-penyimpangan baru di samping perpecahan yang sudah ada, sejalan dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu akrab dengan bid'ah kesesatan.
Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok bid'ah ini sudah sirna dan sudah menjadi koleksi sejarah masa lalu. Entah karena kejahilan mereka atau karena pura-pura tidak tahu! Asumsi seperti itu jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu masih tetap ada sampai sekarang di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin berbahaya dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan sekte-sektenya yang batil serta golongan Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, Kaum Sufi dan Ahli Filsafat, masih berusaha menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani menampakkan taring, mempromosikan aqidah mereka dengan cara yang lebih keji dari pada sebelumnya. Karena pada hari ini mereka mengklaim ajaran mereka sebagai ilmu pengetahun, wawasan dan pemikiran. Disamping minimnya pemaham kaum muslimin tentang agama mereka dan kejahilan mereka tentang aqidah yang benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.
_________
[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_________
Foote Note
[a] Termasuk di antara kebatilan tersebut ialah klaim sebagian kaum sufi bahwa asal-usul bid'ah mereka adalah para shabat Ahlu Suffah Radhiyallahu anhu ajma'in. Sekali-kali tidak demikian ! Bahkan sebaliknya, kita katakan kepada mereka, "Teladanilah sunnah sahabat Ahlus Suffah tersebut jika kalian orang-orang yang benar!".
[1] Pemikiran bahwa Iman itu statis, tidak bertambah dan tidak berkurang
[2] Orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah
[3] Radikal dalam penetapan takdir hingga meyakini bahwa manusia tidak ikhtiar dalam amal perbuatannya
[4] Yaitu meyakini bahwa Al-Qur'an adalah mahluk bukan Kalamullah
[5] Yaitu menolak meyakini Allah dalat dilihat kaum mukminin di Surga pada hari Kiamat
[6] Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluknya
[7] Pengikut Ibnu Kullab. Inti aqidah mereka ialah hanya menetapkan beberapa sifat Allah saja yang menurut mereka dapat diterima falsafah akal mereka.
[8] Pengikut Abul Hasan Al-Asy'ari yang inti aqidah mereka sama dengan Al-Kullabiyah dengan sedikit perbedaan-perbedaan
Allah Subhanahu wa Ta`ala telah mengutus nabi-Nya dan sekaligus pilihan-Nya, Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dengan membawa hidayah dan agama yang benar, supaya Dia memenangkannya di atas segala agama. Maka Allah mengutus beliau untuk seluruh manusia supaya memberi kabar gembira bagi orang-orang yang mau taat dan memberi ancaman bagi mereka yang menolak. Allah menegakkan hujjah dan menerangkan jalan yang lurus, untuk membinasakan orang-orang yang menolak burhan (keterangan itu), dan untuk menghidupkan orang-orang yang mau menerima keterangan itu hingga beliau meninggalkan umat ini di atas syariat yang malamnya seperti siangnya.
Tidak akan menyeleweng seorang pun daripadanya kecuali ia akan binasa, dan tidak akan menolak seorang pun daripadanya kecuali dia akan sesat! Umat ini tidaklah ditinggalkan Rasulullah dalam keadaan kebingungan, tidak tahu jalan, seperti seekor unta yang buta yang tidak bisa melihat mukanya sendiri. Tidak mengetahui antara yang hak dan yang batil, tidak tahu yang gelap dari yang terang. Tetapi beliau menggambarkan kepada umatnya jalan dan menjelaskannya shirathal mustaqim. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An'am: 153)
Oleh karena itu beliau menjelaskan amaliyah manhaj ini.
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membuat garis lurus dengan tangannya, lalu menggaris garis-garis sebelah kanan dan kiri kemudian membaca ayat (surat Al-An'am 153) kemudian meletakkan tangannya di atas jalan yang lurus dan kata beliau: inilah jalan Allah, dan yang ini adalah jalan-jalan lain, tiada satu jalanpun daripadanya melainkan di atasnya ada setan yang menyeru kepadanya." (HR. Nasai, Darimi dll, As-Syaikh Al-Albani menyatakan sanadnya HASAN)
Maka jalan Allah adalah satu, tidak ada duanya (terbilang). Sedangkan jalan-jalan syetan dari kalangan manusia dan jin ini banyak dan bermacam-macam. Mereka semua bertemu dan berkumpul saling bantu-membantu dalam satu kekuatan walaupun jumlah mereka dan keadaannya bermacam-macam. Tetapi mereka memiliki kesamaan warna dan perangai, karena agama kekafiran adalah satu, apapun warna dan rupa, walaupun memakai baju dari kulit domba. Ketika Allah menyebut tentang "nur" yakni Al-Haq, Dia menyebut dengan lafal mufrad (tunggal). Sementara ketika Allah menyebutkan "zhulumat" (kegelapan) yakni isyarat kepada kejahatan (kesesatan) dan simbol-simbolnya, Dia menyebut dengan bentuk jamak (banyak). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah:
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan berbagai kegelapan dan cahaya, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka." (Al-An'am: 1)
Yang dimaksud nur dalam ayat ini adalah shirathal mustaqim yang diperintahkan kepada kaum muslimin bahkan diwajibkan siang maupun malam untuk selalu minta petunjuk (shirathal mustaqim) kepada Rabbnya dan agar selalu istiqamah atas jalan itu sampai bertemu Tuhannya. Karena barang siapa menyimpang dari jalan itu, berarti terjatuh (ke kanan atau ke kiri) yang maknanya terjatuh ke dalam as-subul (jalan-jalan) yang sumbernya dari dua jalan:
Pertama, jalan orang-orang yang dilaknat (Yahudi).
Kedua, adalah jalan mereka yang sesat (Nasrani). Allah berfirman:
"Tunjukanlah kami kejalan yang lurus, yakni jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat." (Al-Fatihah: 6-7)
Dan telah dijelaskan pula martabat orang-orang yang mereka telah diberi nikmat:
"Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi-Nabi,para shaddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih. Mereka itulah teman yang paling baik." (An-Nisa: 69)
Barangsiapa mentaati Allah dan Rasulullah niscaya akan dikumpulkan bersama mereka semua, mudah-mudahan Allah menyatukan dan mengumpulkan kita bersama mereka, dengan karunia, rahmat dan karamah-Nya.
Apabila kita memperhatikan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: "Tiada satu jalan pun melainkan di atasnya ada syetan yang menyeru kepadanya (pada dirinya)", ini menunjukkan kepada jalannya para pemimpin-pemimpin yang sesat dan tokoh-tokoh yang kafir yang mengajak kepada orang-orang untuk mengagungkan dirinya dan menanamkan manhaj mereka yang rusak dan pemikiran mereka yang sesat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
"Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikutkan laknat kepada mereka di dunia ini. Dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah)." (Al-Qashash: 41-42)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya:
"Para da'i yang mengajak ke pintu-pintu neraka Jahannam, barangsiapa mengikuti mereka, niscaya dilemparkan ke dalamnya. Para shahabat bertanya: dari kalangan kita wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Sesungguhnya mereka dari anak-anak yang mempunyai kulit sama dengan kita dan mereka berbahasa dengan bahasa kita." (HR. Bukhari dan Muslim) Dan sungguh! Mereka (para da'i) itu telah bermunculan di mana-mana dan banyak sekali di jaman ini. Mudah-mudahan Allah tidak memperbanyak mereka.
Oleh karena itu, wahai da'i Islam, sabar dan tetaplah di atas shirathal mustaqim dengan mengikuti kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dengan mengikuti pemahaman para pendahulu umat ini (Salafus Shalih) baik dalam hal iman, ilmu, amal shalih serta akhlak mereka. Kemudian berlepas diri dari pemimpin-pemimpin kafir. Sampai Allah mengkokohkan bagi kaum mukminin di muka bumi dan Dia kelak memanggilnya pada suatu hari di mana kaum mukminin akan diberi kebahagiaan dengan pertolongan-Nya. Dengan keperkasaan-Nya, Allah akan berikan yang demikian itu kepada kaum mukminin. (Al-Ashalah edisi Sya'ban 1413 H, hal. 16-17)
Selanjutnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sungguh telah mengkabarkan bahwa umat ini (Islam) akan terpecah menjadi beberapa golongan (kelompok). Bahwa umat ini akan mengikuti sunnah umat-umat sebelum, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
"Sungguh kamu akan mengikuti sunnah (cara hidup) orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan seandainya mereka memasuki lubang biawak pun, tentu kamu akan mengikutinya. Para shahabat bertanya: Apakah (yang dimaksud) Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka!" (HR. Bukhari)
Dan kalau kita meneliti kepada ushul firqah yang sesat niscaya akan kita dapati didalamnya bahwa ushul-ushul mereka itu merupakan cabang-cabang (kalau tidak) dari Yahudi, pasti dari Nashara.
Dan juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengkabarkan bahwa perselisihan dalam umat ini keadaannya lebih banyak dan lebih dahsyat daripada perselisihannya Yahudi dan Nashara. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
"Akan berpecah belah Yahudi dan Nashara menjadi 72 golongan dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali satu. Shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah? Beliau menjawab: mereka itu adalah orang-orang yang mengikuti aku dan para shahabat lakukan hari ini." (HR. Tirmidzi dan Thabrani, HASAN)
Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Kita telah saksikan perpecahan dan perselisihan ini. Nampak di depan kita dengan terangnya bahwa setiap kali datang (berganti) atas manusia dari masa ke masa, terlihat bahwa mereka berselisih dan berpecah lebih banyak dan lebih parah dari sebelumya. Dan untuk menghadapi keadaan yang demikian, Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menuntunkan kepada kita dengan sabdanya:
"Sesungguhnya barangsiapa yang hidup di antara kamu setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa'ur rasyidin. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat petunjuk setelahku dan gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham, dan hati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap yang baru adalah bid'ah." (HR. Ibnu Abi Ashim, Al-Albani mengatakan SHAHIH)
Para shahabat yang masih hidup memahami kemungkinan adanya berbagai perselihan itu. Munculnya Khawarij, Mu'tazilah, dan Rafidhah dan kenyataan penyimpangan-penyimpangan itu merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran terhadap hadits di atas. Namun demikian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah melihat penyakit ini dan kemudian mengkaburkannya. Maka, supaya terhindar dari penyakit ini obatnya adalah berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasul dengan pemahaman salafus shalih. Yang demikian itu telah ditegaskan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam supaya mengikuti sunnah Khulafa'ur Rasyidin karena sunnah mereka tidak akan keluar dari sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Mereka senantiasa tegak dengan kebenaran, selalu berbicara dengan kebenaran. Dan dengan mereka (para shahabat) kebenaran telah tegak dan berkumandang. Allah Subhanahu wa Ta`ala telah memilih mereka menjadi shahabat-shahabat Nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam yang Allah telah ridha kepada mereka dan mereka telah ridha terhadap keputusan Allah. Membuat perkara baru dalam agama merupakan sumber dan pokok kerusakan. Dan hal ini telah diperingatkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan sabdanya:
"Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap yang baru adalah bid'ah dan yang bid'ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi: HASAN SHAHIH)
Sebagian da'i menyangka (dengan sangkaan yang bathil) bahwa sesungguhnya kebanyakan jamaah dakwah nampak dalam keadaan sakit. Maka aku katakan kepadanya: bahwa kebanyakan jamaah-jamaah yang nampak sakit itu, menunjukkan bahwa mereka telah banyak berselisih. Semua perselisihan itu jelek dan setiap yang jelek tidak akan mendatangkan kebaikan! Apalagi sebagian jamaah-jamaah itu mempunyai ajaran-ajaran yang ekornya bersumber dari firqah-firqah yang sesat, seperti: mengkafirkan kaum muslimin yang berbuat maksiat dan dosa, mengingkari hadits ahad, menolak sunnah dan atsar dengan akal dan hawa nafsu, meniadakan asma' dan sifat Allah dll. Dan jamaah-jamaah ini di dalamnya ada perkara-perkara hak dan batil. Setiap apa saja yang dekat kepada al-haq berarti dekat kepada shirathal mustaqim dan setiap apa saja yang menjauhkan dari al-haq berarti lebih dekat kepada orang-orang yang mengikuti subul (jalan-jalan) yang jumlahnya 72 (firqah yang sesat) sebagaimana telah diperingatkan Rasulullah kepada kita.
Dengan demikian, kita harus mengenali kebatilan, pelaku kebatilan, dan manhaj mereka. Sehingga kita akan selamat (dari kebatilannya) dan kemudian berhati-hati (waspada) terhadap mereka. Sebagaimana kita juga harus mengenali jalannya orang-orang yang telah Allah beri nikmat kepada mereka. Mereka adalah Al-Firqah An-Najiyah (kelompok yang selamat). Dan sesungguhnya yang demikian itu harus berdiri tegak dengan ilmu yang shahih. Berada di atas dalil-dalil yang jelas dan hujjah-hujjah yang gamblang dari Al-Kitab dan As-Sunnah As-Shahihah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Yang harus kita fokuskan di sini adalah pemahaman Salafus Shalih sebagaimana yang telah kita sebutkan, karena mereka adalah orang-orang yang tahu cara mengamalkan Al-Qur'an sesuai dengan kenyataan dimana pada waktu itu Nabi masih hidup. Al-Qur'an turun sementara mereka menyaksikannya, sehingga mereka menjadi orang yang dicintai dan diridlai Allah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun menjadi saksi atas kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi'in) kemudian yang mengikuti mereka (tabi'it tabi'in)." (Muttafaqun alaih)
Perselisihan dalam perkara-perkara aqidah tidak pernah terjadi pada Salafus Shalih. Dan ingat! Jangan sekali-sekali kita menengok kepada pengakuan orang-orang yang mengatakan bahwa para shahabat juga berselisih (ikhtilaf) dalam masalah aqidah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (6 / 394) berkata: "Semua perkara yang ada di dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan asma' dan sifat, maka tidaklah akan terjadi perselisihan di kalangan para shahabat dalam takwilnya. Dan sungguh aku telah meneliti tafsir-tafsir yang dinukil dari para shahabat dan hadits-hadits. Atas kehendak Allah, aku mencocoki baik dari kitab-kitab besar maupun kecil yang jumlahnya lebih dari 100 tafsir. Saya tidak dapati sampai jaman saya ini, seorang shahabat pun yang mentakwil ayat-ayat sifat dan hadits-hadits yang berkenaan dengan asma' dan sifat, atau menyelisihi makna zhahir ayat. Berbeda dengan perkataannya Ahlu Takwil yang menyimpang itu. Mereka (para shahabat) menerima dan menetapkannya karena tidak ada yang mengetahui makna nama-nama dan ayat-ayat itu kecuali Allah. Dan yang demikian itu telah disebutkan dalam atsar-atsar mereka dan penyebutan tentang perkara-perkara mengenai mereka sangatlah banyak."
Oleh karena itu, harus diluruskan keyakinan manusia dan diperbaiki manhaj mereka dengan asas dakwah para Rasul dan dakwah sunnah yang shahih. Dan kita harus memperbaharui seluruh perkara-perkara syariah yang telah ditinggalkan dan masalah-masalah aqidah harus diutamakan, karena tidak mungkin mengumpulkan manusia sebelum memperbaiki aqidah mereka. Mengumpulkan manusia yang rusak aqidahnya hanyalah akan menimbulkan pertentangan yang tidak bermanfaat. Bahkan justru akan menjadi penghalang turunnya nashrullah (pertolongan Allah). Dan pertolongan-Nya tidak akan diberikan kepada ahli syirik, ahli khurafat dan pemimpin-pemimpin yang sesat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (Al-Hajj: 40)
Dengan demikian, wajib bagi kita mengikuti jalan kaum mukminin dan menjauhi jalan-jalan kesesatan (subul) yang Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkannya. Dan supaya kita menyelamatkan diri dari tempat-tempat yang akan menjerumuskan kita dari jalan-jalan itu. Hal ini sesungguhnya telah dijelaskan dalam Al-Kitab, As-Sunnah dan juga sejarah. Maka, apakah kita dapat memahaminya? (Al-Ashalah no. 3, 15 Syawal 1413 H.)
*diambil dari milis as-sunnah posting oleh : "M.J. Robbani" <muhjundu@yahoo.com