Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin As-Sidawy
VI. BATAS AKHIR SAHUR
Untuk lebih menjelaskan tentang masalah ini, akan saya nukilkan -bi Idznillah- khilaf para ‘Ulama tentang akhir batas sahur, sebagai gambaran bagi kaum muslimin bahwa mereka mengakhirkan sahur tanpa mengenal istilah IMSAK yang ada di zaman sekarang.
Perbedaan pendapat para ‘Ulama dalam masalah batas akhir sahur, adalah sebagai berikut :
1. Jumhur ‘Ulama berpendapat, bahwa batas akhir sahur adalah terbitnya fajar shodiq. Dalil mereka adalah ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas.
2. Sebagian Salaf membolehkan sahur hingga cahaya putih telah tersebar di atap-atap rumah dan gang-gang desa.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit y .
Juga diriwayatkan dari sebagian tabi’in rohimahumullah jami’an, diantaranya : Muhammad bin Ali bin Al-Husain, Abu Mijlaz, Ibrohim An-Nakho’iy, Abu Dluha, Abu Wa’il, dan yang lainnya dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Atho’, Al-Hasan Al-Basry, Al-Hakam bin ‘Uyainah, Mujahid, ‘Urwah bin Zubair, Abu Sya’tsa Jabir bin Zaid dan ini adalah pendapat Al-A’masy dan Jabir bin Rosyid.
3. Al-Imam Ibnul ‘Aroby Abu Bakr Al-Maliky رحمه الله , berpendapat, tentang keharusan menahan diri dari larangan-larangan puasa bila telah mendekati fajar shodiq. Sebagaimana dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an, 1/105 cet. 1 Daarul ihyaut turots al-aroby-Bairut tahun 1421 H/2001 M
Pendapat beliau ini disitir oleh ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 1/211 cet. Daarul Ihyaul Kutub Al-Arobiyah tanpa tahun. Dengan shighot tamridl ( قيل ) untuk menunjukkan kelemahannya dan beliau memberikan alasan bahwa pendapat ini hanya berdasarkan kehati-hatian.
4. Ibnu Jarir At-Thobary رحمه الله , menukilkan dari sebagian orang yang berpendapat bahwa akhir waktu sahur adalah terbitnya matahari.
Pendapat ini disanggah oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/228-229 karena menyelisihi ayat di atas.
Pendapat yang shohih tanpa syak lagi adalah pendapat Jumhur ‘Ulama dahulu maupun sekarang karena kuatnya argumentasi mereka yang berdasarkan ayat dan hadits-hadits diatas.
Adapun yang diriwayatkan sebagian sahabat dan tabi’in di atas. Maka yang dimaksud adalah mereka bersahur hingga merasa yakin fajar telah terbit, demikianlah dijelaskan oleh Imam An-Nasa’i, Ibnu Katsir, dan para ‘Ulama lainnya, sehingga pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/228.
Adapun pendapat yang selain ini. Maka tidak perlu ditoleh karena tidak berdasar pada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
VII. BILA MERAGUKAN TERBITNYA FAJAR
Untuk lebih menjelaskan lagi, bahwa sahur lebih afdlol diakhirkan dan batas waktu akhir adalah terbit fajar, adanya sebagian ‘Ulama yang membolehkan makan dan minum bila dia masih meragukan terbitnya fajar shodiq.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Atho’, Al-Auza’y, Imam As-Syafi’iy , dan Imam Ahmad bin Hambal rohimahumullah . Mereka berpegangan dengan ayat :
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Al Baqoroh : 187 )
VIII. BID’AHNYA IMSAK MASA KINI
Bila penjelasan di atas telah dipahami, maka dengan mudah dan ilmiyah kita dapat menghukumi bid’ahnya IMSAK di zaman sekarang ini, dimana ada sebagian faham sempalan yang menentukan waktu IMSAK jauh sebelum fajar shodiq muncul.
Untuk lebih membuktikan lebih akurat lagi tentang hal ini, maka saya jelaskan hal-hal penting yang merupakan prinsip Islam sebagai berikut :
1. Berpuasa adalah ibadah, bahkan termasuk rukun Islam. Untuk itulah Allah mewajibkannya dan memberi pahala orang yang melaksanakannya serta mengancam orang-orang yang meninggalkannya.
Hal ini adalah perkara yang telah di maklumi oleh segenap kaum Muslimin. Allah I berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ” (Al Baqoroh : 183)
2. Sementara ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah I melainkan bila terpenuhi dua syarat :
a. Ikhlas
Yaitu mempersembahkan Ibadah tadi hanya untuk Allah I semata dan tidak boleh untuk yang selain-Nya. Allah I berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Al Bayyinah : 5)
Bila syarat ini hilang, maka orang itu terjatuh pada perbuatan syirik yang menghapus amalannya, firman Allah I :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az Zumar : 65)
b. Mengikuti dan sesuai dengan Sunnah Rosulullah r baik dalam hal kaifiyah (tata cara), waktu, tempat, dan yang lainnya. Allah I berfirman :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (Al Hasyr : 7)
Bila syarat ini hilang, maka diapun terjatuh pada Perbuatan Bid’ah. Sabda Rosul r :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدًّ [رواه مسلم عن عائشة]
“ Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang bukan dari kami maka dia tertolak”
Dari sinilah, para ‘Ulama menetapkan suatu kaidah yaitu “hukum asal ibadah adalah haram hingga ada dalil (Al-Kitab dan Sunnah) yang mensyari’atkannya”
Dengan demikian jelaslah, bahwa Imsak adalah bid’ah mungkaroh yang harus dilenyapkan oleh kaum muslimin dari bumi pertiwi ini, sebab imsak tidak dilandasi oleh dalil dan banyak menimbulkan kesalahan-kesalahn fatal dalam agama seseorang.
Berikut ini saya bawakan penjelasan para ‘Ulama tentang masalah ini agar kaum muslimin merasa mantap dan yakin akan kebid’ahan Imsak.
Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany رحمه الله.
“Faidah : Ketahuilah! Bahwa tidak ada pertentangan antara pensifatan Beliau r terhadap fajar shodiq dengan “Warna Merah” dan pensifatan Allah I terhadapnya dengan firman-Nya I “Tali Putih” sebab yang dimaksud adalah –wallahu a’lam- : Cahaya putih bercampur merah atau terkadang bercahaya putih dan terkadang bercahaya merah, sesuai dengan perbedaan Mathla’.
Hal ini saya lihat sendiri bekali-kali dari rumah saya di Jabal Hamlan sebelah timur Omman. Sehingga hal ini mempekuat keyakinan saya akan kebenaran berita yang disampaikan oleh sebagian orang yang sangat berkeinginan membetulkan ibadah kaum muslimin bahwa adzan fajar disebagian negara-negara arab diawalkan sebelum fajar shodiq antara 20 –30 Menit yaitu sebelum fajar kadzib juga!?
Saya seringkali mendengar Iqomat sholat fajar dari sebagian mesjid bersamaan dengan terbitnya fajar shodiq, mereka adzan setengah jam sebelumnya. Akibatnya, mereka sholat sunnah fajar sebelum waktunya, mereka terkadang pada bulan Romadhon menyegerakan pelaksanaan sholat fardu sebelum waktunya, sebagaimana yang saya dengar di radio DAMASKUS saat saya sedang makan sahur Romodhon tahun lalu ( 1406 H).
Ini semua berakibat mempersempit waktu orang dengan segera Imsak dari makan dan mengakibatkan batalnya sholat subuh. Hal-hal diatas disebabkan mereka berpatokan dengan jadwal waktu falak dan berpaling dari jadwal waktu syar’i.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al Baqoroh : 187)
Ini adalah peringatan, dan peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin..” ( Silsilah As-Shohihah No: 2031, lihat Nudhumulfaroid karya Abdul latif 1/512-513 cet. 1 Maktabatul Ma’arif-Riyadl-tahun 1420 H/1999 M)
Al-Imam Abdullah Aalu Bassam رحمه الله
“ Sesugguhnya waktu imsak adalah terbitnya fajar, sebagimana firman Allah I :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dengan demikian kita mengetahui, bahwa dua waktu yang dibuat oleh orang , satu waktu Imsak dan yang lain untuk terbit fajar adalah Bid’ah yang tidak diturunkan dalilnya oleh Allah I . Itu hanyalah was-was syaithon untuk mengkaburkan agama mereka, padahal menurut Sunnah Muhammad r Imsak itu pada awal fajar .“
(Taisur Allam, 2/58)
Al-‘Allamah As-Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzohullah, salah seorang ‘Ulama besar Saudy Arabiyah.
“Sebagaian orang terlalu dini dalam makan sahur, sebab mereka bergadang malam lalu makan sahur dan tidur beberapa jam sebelum fajar. Orang-orang seperti ini telah melakukan beberapa kesalahan :
1. Mereka telah mulai puasa sebelum waktu puasa.
2. Mereka meninggalkan sholat fajar secara berjama’ah, merekapun bermaksiat kepada Allah I dengan meninggalkan kewajiban sholat berjama’ah.
3. Terkadang mereka mengakhirkan sholat fajar dari waktunya, mereka tak mengerjakannya melainkan setelah terbitnya matahari, ini lebih besar lagi dosanya. Allah I berfirman :
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, ” (Al Maa’uun : 4-5)
( lihat : Al-Mulakhosul Fiqh hal. 229-230 cet. Daarul Haitsam-Cairo, tanpa tahun )
Syaikh Saya, Abdurrahman Mar’ie Al-‘adny Al-Yamany.
Beliau tegas menyatakan, bahwa IMSAK adalah Haram dan Bid’ah, sebagaimana dalam Tanya jawab saya dengan beliau Via Telphon pada hari Rabu tanggal 28 Desember 2004 M.
Sebagai penutup pembahasan masalah seputar sahur, berikut ini saya bawakan faedah mengakhirkan sahur agar kaum muslimin melihat betapa mudah dan ringan agama Islam ini dan betapa bid’ah Imsak telah memberatkan kaum muslimin.
Faedah-faedah mengakhirkan sahur ini saya rangkumkan dari penjelasan para ‘Ulama dahulu maupun sekarang .
IX. FAEDAH-FAEDAH MENGAKHIRKAN SAHUR
Diantaranya adalah :
1. Mencontoh Rosulullah r dan mencocoki Sunnahnya.
Ini adalah faedah terbesar dan terpenting. Kalaulah tidak ada faedah pada mengakhirkan sahur melainkan ini, niscaya sangat cukup sebagai bukti keutamaannya.
Sebab, mencocoki Sunnah Rosulullah r dalam satu amalan ibadah adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan dan hal inilah yang didambakan oleh setiap muslim yang masih bersih fithronya. Apalagi kalau amalan ini dikerjakan ditengah-tangah sebuah masyarakat yang terkukung dalam cengkraman bid’ah Imsak. Maka pahalanya lebih berlipat lagi. Rosulullah r pernah bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلي يَوْمِ القِيَامَةِ لاَ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءاً
“Barang siapa yang menghidupkan kembali dalam islam ini Sunnah yang baik, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun.”
Mudah-mudahan Allah I menjadikan kami termasuk orang yang mendapatkan keutamaan dalam hadits ini. Amin.
2. Meringankan kaum muslim dalam bersahur .
Sebab, bila bersahur di tangah malam dan imsak jauh sebelum fajar, niscaya hal ini akan memberatkan dia atau dia perlu memaksakan diri untuk bangun tengah malam hanya untuk bersahur.
3. Lebih menguatkan orang yang berpuasa sebab dia sangat membutuhkan makanan.
Bila dia bersahur tengah malam, niscaya akan cepat melemahkan dia, apalagi kalau dia punya penyakit tertentu, bisa jadi menyebabkan dia buka puasa di siang hari.
4. Memudahkan dia sholat fajar secara berjama’ah tepat pada waktu yang disyar’ikan, dimana hal ini lebih wajib dari pada sahur itu sendiri.
Adapun bila dia sahur jauh sebelum fajar, maka dikhawatirkan dia akan tertidur dari sholat fajar secara berjama’ah, lebih parah lagi dia sholat fajar setelah matahari menyingsing. Wallahu a’lam.
X. WAKTU BERBUKA PUASA
Setelah selesai pembahasan masalah seputar sahur yang merupakan awal waktu dimulainya ibadah puasa yaitu bila fajar shodiq telah terbit, berikut ini saya bawakan masalah-masalah seputar buka puasa yang merupakan akhir waktu ibadah puasa dan saya bawakan pembahasan masalah waktu berbuka agar sejalan dengan pembahasan sebelumnya.
Masalah waktu buka puasa ini telah Allah I jelaskan secara gelobal dalm firman-Nya I :
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al Baqoroh : 183)
Maka puasa itu dimulai dari terbitnya fajar shodiq hingga masuk waktu malam sebagaimana konteks lafadz ayat ini, lalu kapan masuknya waktu malam yang itu adalah waktu berbuka puasa dan dikumandangkannya adzan maghrib ?
Berikut ini saya bawakan hadits-hadits Rosulullah r yang menjelaskan ayat di atas :
Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1954 ( lafadz hadits ini adalah lafadz Imam Al-Bukhory) dan Muslim no. 1100/51 dari jalan Hisyam bin ‘Urwah t dari Bapaknya dari Ashim bin Umar bin Al-Khoththob t dari bapaknya berkata : Rosulullah r bersabda :
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Bila Malam telah datang dari arah sini (timur) dan Siang telah pergi dari arah sini (barat) dan telah tenggelam matahari, maka sungguh orang puasa telah berbuka .”
Al-Imam An-Nawawy As-Syafi’iy رحمه الله dalam Syarah Shohih Muslim (7/181 ) menjelaskan :
“Maknanya adalah telah selesai dan sempurna puasanya dan dia sekarang telah disifati sebagai orang yang buka puasa, sebab dengan tenggelamnya matahari, hilanglah siang dan datanglah malam, sementara malam itu bukan tempat untuk puasa.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany As-Syafi’iy رحمه الله menjelaskan lebih lanjut :
“Dalam hadits ini Beliau r menyebutkan tiga perkara, walaupun ketiganya pada asalnya saling berkaitan namun tekadang secara zhohir tidak demikian, bisa jadi disangka telah datang waktu malam dari arah timur namun datangnya tidak secara hakiki disebabkan adanya sesuatu yang menutupi cahaya matahari, demikian pula perginya waktu siang, dari sinilah Beliau r mengkaitkannya dengan sabdanya “dan matahari telah tenggelam” sebagai isyarat adanya persyaratan terwujudnya datang (malam) dan pergi (siang), yang keduanya diketahui dengan perantara tenggelamnya matahari bukan dengan sebab lainnya. “ ( Fathul Bari 4/710)
Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1955 dan Muslim no. 1101/52-53 dari jalan Abu Ishak As-Syaibany رحمه الله dari Abdullah bin Aufa t beliau berkata : “ Kami pernah bersama Rosulullah r dalam suatu safar sedangkan Beliau r berpuasa, tatkala matahari telah hilang Beliau berkata kepada sebagian kaum : “ Wahai fulan! Bangunlah buatkan untuk kita Al-Jadh (tepung sawik dicampur dengan air diaduk hingga rata, pent). ” dia berkata : “ Wahai Rosulullah! Seandainya engkau tunda hingga lebih sore?” kata Beliau : ”Bangunlah buatkan kami Al-Jadh !” dia berkata : ”wahai Rosulullah! Kalau engkau tunda hingga lebih sore .” , kata Beliau : “Turunlah buatkan kami Al-Jadh !!” dia berkata :” sesungguhnya ini masih terang!!”, kata Beliau :” Turunlah! Buatkan kami Al-Jadh!!!” diapun turun lalu membuatkan mereka Al-Jadh, Rosulullah r pun meminumnya lalu bersabda :
إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“ Bila kalian telah melihat malam telah datang dari arah sini (timur), maka telah berbuka orang yang puasa itu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany رحمه الله juga menerangkan : “Dalam hadits ini juga ada anjuran menyegerakan berbuka puasa, dan tidak ada keharusan menahan sebagian malam secara mutlak, bahkan kapan saja diyakini tenggelamnya matahari. Maka telah halal berbuka puasa.” (Fathul Bari 4/711)
Dari penjelasan dua hadits di atas berikut uraian dua Imam dari Madzhab Syafi’iy di atas, jelaskan bagi kita bahwa berakhirnya waktu puasa adalah semata-mata tenggelamnya matahari. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rosulullah r dan para shohabatnya sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa t di atas.
Juga secara khusus telah dilakukan oleh seorang shohabat yang mulia Abu Said Al-Khudry t , sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdul Wahid bin Aiman dari bapaknya dia berkata : “Kami pernah masuk kepada Abu Sa’id lalu dia berbuka puasa semetara kami melihat bahwa matahari belum tenggelam.”
Atsar ini sanadnya Hasan. Abdul Wahid bin Aiman LA BA’SA BIHI ( tidak mengapa dalam hadits) ya’ni dihasankan haditsnya, sementara bapaknya, AL-IMAN AL-HABASY AL-MAKKY dia TSIQOH (terpercaya haditsnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله menjelaskan tentang atsar di atas “Sisi pendalilan dari atsar ini adalah bahwasanya Abu Sa’id tatkala merasa yakin matahari telah tenggelam, beliau tidak mencari keterangan tambahan lain dan tidak pula menoleh kepada persetujuan orang-orang yang disekitarnya…” ( Fathul Bari 4/710)
Untuk memperjelas lagi makna ayat di atas. Berikut ini saya bawakan penjelasan sebagian ahli tafsir tentang ayat di atas, diantaranya :
Al-Imam Al-Qodli Abu Bakar Ibnul Aroby Al-Maliky رحمه الله dalam Ahkamul Qur’an, 1/105. Menjelaskan :
“ Masalah ke sepuluh : firman-Nya I : ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Robb kita yang Maha Tinggi mensyaratkan kesempurnaan puasa hingga jelasnya waktu malam, sebagaimana Allah I membolehkan makan hingga jelasnya waktu siang, namun bila telah jelas waktu malam, maka Sunnahnya adalah menyegerakan buka puasa.” Lalu beliau membawakan hadits Abdullah bin Abi Aufa diatas.
Al-Imam Ibnu Katsir As-Syafi’iy رحمه الله dalam tafsirnya 1/230 menguraikan:
“Firman-Nya I (ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ) mengharuskan berbuka puasa ketika tenggelamnya matahari sebagai hukum syar’iy.”
Al-Imam Asy-Syaukany Al-Yamany رحمه الله dalam Fathul Qodir, 1/339 menjelaskan pula :
“Firman-Nya I (ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ), di dalamnya ada ketegasan bahwa puasa memiliki batas akhir yaitu malam. Maka ketika malam datang dari arah timur dan siang pergi dari arah barat, orang puasa berbuka puasa dan halal baginya makan, minum, dan yang lainnya.”
Jumat, 15 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
bismillah ...
saya akan sangat berterimakasih apabila anda berkenan membaca arikel di blog ini sampai tuntas dan kemudian meninggalkan jejak cinta dengan memposting komentar yang sopan dan sesuai dengan tema...
mohon ma'af karena komentar akan saya moderasi terlebih dahulu demi kenyamanan bersama ...