Bismillah ...

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56).

“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Tauhid adalah perkara yang paling penting dalam agama Islam. Sebagai tujuan diutusnya para Rasul, serta sebagai kewajiban pertama dan terakhir bagi manusia yang berakal.

Pelanggaran terhadapnya adalah bid'ah yang paling besar sebagaiman firman Allah :

“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cinta Kepada Allah

"Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman, ....

Mereka Yang Berjatuhan Dari Dakwah Salafiyah

Namun, bagi mereka yang menghendaki agar dakwah salafiyah inilah yang berkhidmat dan menanggung mereka, lalu dicatat dan mereka ditampakkan sebagai tokoh dalam dakwah ini, hanya karena menisbatkan diri.....

Kesalahan Kesalahan Dalam Beraqidah

..Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat. ...

Menyelewengkan Makna La Ilaha Illallah, Wujud Penyimpangan Aqidah

Tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama untuk diilmui dan didakwahkan. Ia juga merupakan tugas yang paling besar,......

Surat Dari Ibu yang terkoyak hatinya

Anaku…. Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya.

Jumat, 22 Juli 2011

Sholat Tarawih Rasulullah adalah 11 raka'at

Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Shalat Tarawih Bersama Rasulullah

Mukadimmah
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memujinya, memohon pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan diri-diri kita dan amal-amal kita.

Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tidak yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya.
Amma ba’d :

Telah terdapat riwayat shahih yang mauquf atas sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu akan tetapi secara hukum marfu’ (sampai kepada) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, bahwa beliau (Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) mengatakan : “Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat besar anak kecil menyelimuti kalian, bahkan manusia menjadikannya sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya. Maka akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?” Mereka mengatakan : “ Kapan itu ?”. “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al-Qu’ran semakin, banyak ahli fiqih semakin sedikit, semakin banyak pimpinan kalian, semakin sedikit orang yang jujur, dan dicari manfaat dunia dengan menggunakan amalan akhirat dan dipelajari selain agama”.”( Riwayat ad Darimi 1/64 dengan dua sanad salah satunya shahih dan yang lain hasan, juga Hakim 4/514 dan lainnya)

Saya (Syaikh Albani) berkata : “Hadist ini termasuk tanda-tanda kenabian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan kebenaran risalahnya, karena setiap point dari point-pointnya telah terwujud saat ini. Di antaranya, menyebarnya bid’ah dan manusia terfitnah olehnya sehingga menganggap bid’ah sebagai Sunnah dan menjadikannya sebagai agama yang dianut. Jika ahlusSunnah meninggalkannya kepada Sunnah yang benar-benar jelas dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?”.

Inilah yang menimpa kami ahlussunah di Syam. Ketika kami menghidupkan Sunnah shalat tarawih sebelas rakkat dengan menjaga ketenangan dan kekhusyuan dan berbagai dzikir yang didapat dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semampunya, suatu perkara yng telah ditinggalkan oleh mayoritas orang-orang yang tetap shalat dengan dua puluh rakaat. Akan tetapi mereka tetap berontak, dan bangkit qiyamat mereka ketika kita terbitkan buku kita yang berjudul “Shalatut Tarawih” [Telah dicetak ulang buku ini dengan cetakan kedua oleh Zuhair Syawisy tahun 1405 H, dengan bentuk huruf yang baru akan tetapi percobaan-percobaannya tidak disodorkan kepada saya untuk saya teliti sendiri, hal itu disebabkan sulitnya komunikasi antara Beirut dan Oman, sehingga terdapat sedikit kesalahan cetak, sebagiannya karena mengikuti cetakan yang pertama diantaranya yang ada pada hal (32) dan pada cetakan pertama pada hal (37) – yang berbunyi, pent seperti :”yang shalat dhuhur 5 rakaat dan Sunnah fajar 4 rakaat” yang benar adalah “shalat Sunnah Dhuhur” dengan dalil, kata yang mengikutinya “dan surah Fajar” dan kata-kata yang mendahuluinya serta kontek kalimatnya. Dan telah memperalat kesalahan cetak ini sebagian ahlil-bid’ah, lalu mendirikan diatasnya istana-istana mereka dalam buku-buku mereka yang akan dusebut nanti, akan tetapi istana mereka itu diatas bibir jurang yang terpuruk.] yang itu merupakan buku kedua dari silsilah buku kita “Tasdidul ishabah ila man zaa’ma nusratal hulafa’ur Rasyidin wa shahabah”, karena apa yang mereka lihat didalamnya dari hakekat beberapa hal :
1. Bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak shalat tarawih lebih dari 11 rakaat.
2. Bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay radhiyallahu ‘anhu dan Tamim ad Dary radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami manusia di bulan Ramadhan dengan 11 rakaat sesuai Sunnah yang shahih.
3.Bahwa riwayat : “Sesungguhnya manusia melakukan shalat tarawih di masa Umar di bulan Ramadhan 20 rakaat adalah riwayat lemah”, syadz yakni menyelisihi riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (terpercaya) yang mengatakan : “11 rakaat dan bahwa Umar memerintahkan dengannya”.
4. Bahwasanya riwayat yang syadz tersebut seandainya benar, maka mengambil riwayat yang shahih adalah lebih baik karena sesuainya dengan Sunnah dari sisi jumlah, dan tidak didapati pada riwayat itu bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat 20 rakaat, orang-orang saja yang melakukan itu, berbeda dengan riwayat yang shahih, karena didalamnya terdapat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat dengan 11 rakaat.
5. Juga seandainya benar, tidak berarti kemudian harus mengamalkannya, dan meninggalkan amalan dari riwayat yang shahih yang sesuai dengan Sunnah, dimana yang mengamalkan Sunnah justru dianggap keluar dari jamaah. Bahkan puncak faedah yang ingin didapatkan dari riwayat itu adalah dibolehkannya 20 rakaat dengan pasti dan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah lebih utama.
6. Kami telah terangkan juga didalamnya bahwa 20 rakaat tersebut tidak didapatkan dari seorangpun shabat yang mulia satupun.
7. Bathilnya sangkaan bahwa mereka (shahabat -pent) telah bersepakat atas 20 rakaat.
8. Kami terangkan pula dalil yang mewajibkannya selalu melakukannya dengan jumlah yang terdapat dalam Sunnah, dan kami terangkan juga bahwa para ulama yang mengingkari penambahan dari jumlah tersebut, dan lain-lain dari faedah-faedah yang jarang didapatkan terkumpul dalam satu kitab.

Semua itu dengan dalil-dalil yang jelas dari Sunnah yang shahih dan dari atsar (ucapan aau perbuatan salafush shalih- pent) yang dipercaya. Ini merupakan perkara yang menyebabkan sikap berontak membabi-buta dari sekelompok syaikh ahli taqlid, sebagaimana didapati dalam khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka, sebagiannya lagi dalam buku-buku yang mereka tulis untuk membantah buku kami terdahulu. Tapi semuanya kosong dari ilmu yang bermanfaat dan hujah yang mendasarinya. Bahkan buku itu dicorat-coret dengan celaan dan cercaan sebagaimana kebiasaan orang-orang yang salah ketika berontak terhadap kebenaran dan para pengikutnya.

Oleh karenanya kami tidak melihat adanya faedah yang besar dengan menghabiskan waktu kita untuk membantah mereka, dan menerangkan cacatnya ucapan mereka, karena umur ini terlalu pendek untuk membahas panjang lebar (masalah tersebut –pent) karena terlalu banyaknya. Semoga Allah memberi hidayah-Nya kepada mereka semuanya. Dan tidak mengapa kita memberikan contoh asal hal itu dengan salah satu dari mereka. Dia menurutku adlah lebih afdhal dan paling berilmu[Yaitu syaikh Ismail Al-Anshary salah seorang pegawai di kantor fatwa di kota Riyadh.]

Akan tetapi ilmu, jika tidak disertai dengan keikhlasan akhlaq yang suci, mudharatnya atas orangnya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana diisyaratkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Permisalan orang yang mengajarkan manusia kebaikan dan melupakan dirinya seperti lentera yang menerangi orang lain tapi membakar dirinya”. (Riwayat Thabrany dan Ad Dhiya’ al Maqdisi dalam kitab Al-Mukhtarah” dari sahabat Jundub dengan sanadnya yang bagus, lihat (shahih Targhib 1/56/127) ).

Orang tersebut telah menulis sebuah buku yang berjudul ”Tashihu Hadist-si Shalati at-Tarawihi ‘isrina rakaatan wa rodhu ‘ala Al-Albany fi Tad’iyfihi” Terjemahnya :“Shahihnya Hadist Shalat Tarawih 20 Rakaat dan Bantahannya Terhadap Al-Albani yang mendhaifkannya”

Dalam buku itu penulis telah keluar dari jalannya para ulama dalam hal melawan hujjah dengan hujjah dan dalil dengan dalil, juga dalam hal kejujuran dalam ucapan, dan menjauhkan pengkaburan pada orang yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kami tunjukkan pada perkara yang memungkinkan diringkas pada mukadimmah ini [Kemudian beliau menyebutkan 5 contoh dan beliau bantah dengan ilmiyah sehingga tampaklah bagi orang yang adil kuatnya hujjah beliau dan lemahnya dalil-dalil yang membantahnya, dan hampir semuanya berkisar pada masalah penerapan ilmu hadist. - pent]. Saya (Syaikh Al-Albani) berkata :
1. Sesungguhnya setiap orang yang membaca judul tersebut pada risalah / tulisannya, maka akan tergambar dibenaknya bahwa hadist yang marfu’ (sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam) tentang shalat tarawih 20 rakaat adalah disepakati kedhaifannya. Kemudian, apabila dia membaca beberapa lembar halaman awalnya maka akan jelas baginya bahwa atsar yang diriwayatkan dari jalan Yazid bin Khasifah dari Saib bin Yazid bahwa dia berkata : “Mereka (para Sahabat) mendirikan shalat pada zaman Umar bin Khattab pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat.”

Maka berawal dari sini pembaca akan mengetahui bahwa ada suatu (kejanggalan –pent) dalam tulisan ini, demikian pula pada judulnya. Karena dia terang-terangan berbuat tadlis.

Hanya kepada Allah lah kita meminta keselamatan dan ampunan.

2. Termasuk juga di situ dia membold (cetak tebal) tiga halaman yaitu (hal.14-16) terhadap Yazid bin Khasifah yang telah disebutkan, dan penetapannya bahwa dia adalah tsiqah itu dilakukannya untuk membuat ragu para pembaca -yang sungguh sejumlah telah a’immah (ulama) telah mentsiqahkannya- bahwa saya telah menyelisihi mereka semua dengan mendhaifkannya ! Padahal permasalahannya tidaklah demikian. Sungguh saya telah mengikuti mereka (para a’immah dalam men’tsiqah’kannya) sebagaimana akan datang penjelasannya.

3. Bahkan dia tidak sekedar (membuat) keragu-raguan dan tadlis dengannya (akan tetapi lebih dari itu). Jelas tersingkap kedustaan dan penyelisihannya dari kenyataan yang ada. (Pada hal.15) dia berkata : “Sesungguhnya Al-Albani menyangka kedhaifannya”. Ini adalah kedustaan nyata ! Karena sungguh, sebenarnya telah saya jelaskan dalam risalah saya (hal.57) bahwa dia adalah tsiqah!
Puncaknya adalah ucapan saya disitu : “Sesungguhnya dia menyendiri dengan apa-apa yang tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah. Yang seperti itu, ditolak hadistnya jika menyelisihi orang yang lebih kuat hafalannya dari pada dia; maka (atsar ini) menjadi syadz sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu Musthalah. Dan atsar ini termasuk di sini…”. Perkataan seperti ini, walaupun dianggap sebagai firnah terhadap penstiqahan para ulama, tetapi bukan berarti dia (Yazid) itu dhaif yang harus ditolak (hadistnya) secara mutlak. Bahkan sebaliknya, berati hadistnya diterima secara mutlak kecuali jika menyelisihi (riwayat-riwayat yang ada). Inilah apa yang saya tegaskan pada akhir ucapan yang telah disebutkan : ” Atsar ini termasuk disini…”. Berdasarkan pernyataan inilah perkataan kami berkisar. Maka orang yang mencela perkara tersebut dan menyandarkan suatu perkara yang tidak aku katakan adalah merupakan kelicikannya. Dan Allah lah yang mencatatnya.

4. Syaikh tersebut tidak merasa cukup dengan isyarat yang ditunjukkan kepadanya, ia justru menambahkan manasabkan kepadaku gelar buruk yang lain. Dia berkata (pada hal.22) : “ Tidak sepatutnya bagi orang yang meninggalkan riwayat Yazid bin Khasifah – yang digunakan hujjah oleh para imam semuanya –untuk menerima hujjah dengan riwayat Isa bin Jariyah yang didhaifkan oleh Yahya bin Main… dan. Sesungguhnya aku tidak menggunakan riwayat Isa tersebut sebagai hujjah mutlak, akan tetapi aku mengisyaratkan bahwa ia tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Sebagaimana aku katakan (hal. 21): “Sanadnya hasan, disebabkan (adanya) riwayat sebelumnya”.

Karena, seandainya aku berhujjah dengannya, seperti yang diada-adakan oleh Syaikh tersebut (tentu) tidaklah aku katakan : “Dengan riwayat sebelumnya”. Karena kalimat ini merupakan keterangan kuat yang menunjukkan bahwa perawi ini bukan termasuk seorang yang dapat digunakan/diterima riwayatnya. Bahkan ia di sisinya adalah lemah, tetapi digunkan sebagai penguat saja. Sehingga hadistnya menjadi hasan apabila terdapat (hadist lain) yang menguatkannya.

Dan telah didapatkan yaitu hadist yang diisyaratkan dengan perkataanku : “Dengan riwayat sebelumnya”. Yaitu hadist riwayat sebelumnya, yaitu hadist riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah di bulan Ramadhan, tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat”. (HR. Bukhary, Muslim dan lainnya)

Apakah Syaikh tersebut termasuk orang-orang yang tidak mengerti ilmu hadist sampai-sampai ia tidak memahami perkataan seperti ini : ”Sanadnya hasan dengan riwayat yang sebelumnya !” Apalagi aku telah menambahi keterangan atasnya ketika kamu kembali mentahrijnya di halaman lain (hal.79-80) dan kami nukil perkataan Al-Haitsami bahwa ia menghasankannya. Lalu aku memberi keterangan dengan perkataan : ”Dan sanadnya dianggap hasan menurutku”. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.

Apakah ini kepura-puraan yang disengaja atau pemalsuan murni yang dikarenakan kedengkian yang ada dalam hatinya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merhamati orang-orang yang mengatakan :

Jika engkau tidak mengetahui maka itu musibah
jika engkau mengetahui, maka musibahnya lebih besar.

Dan yang menunjukkan kepada pembaca bahwa syaikh mengetahui…, perkataannya (hal.46) : Dan telah disebutkan hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”

Sebagai cermin pengekorannya terhadap orang yang menghasankannya, (dia berkata) : “Tidak semestinya bagi Al-Albani untuk melemahkan hadist hasan dikarenakan adanya jalan periwayatan lain yang lemah. Maka sesungguhnya yang demikian itu menyimpang dari persetujuan yang disepakati para imam dalam bidang ini.”
Kalau demikian, maka aku (Syaikh Al-Albani) ketika menghasankan hadist Isa bin Jariyah yang telah lalu dengan penguat hadist Aisyah atasnya, syaikh menyadari dengan sepenuhnya pengetahuan bahwa aku sepakat dalam masalah itu dengan yang disepakati ulama dalam bidangnya. Oleh karena itu, ia tidak mampu menyalahkanku dalam masalah tersebut. Maka dia pun mengadakan pernyataan palsu bahwa aku berhujjah dengannya, untuk mencurahkan kebencian hatinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghitungnya.

Kemudian pembaca yang mulia bersama kami dapat melihat sepintas permainan syaikh ini terhadap hakekat ilmiyah. Karena jika yang demikian itu tidak selayaknya bagiku (seperti sangkaan) melemahkan hadist Jabir radiyallahu ‘anhu, yaitu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”

Karena dia (menurut persangkaanya) mempunyai jalan lain yang dhaif pula menurut pengetahuannya, walaupun karena taklid. Maka apakah patut pula baginya menganggap lemah hadist Jabir yang disebutkan di muka berkenaan dengan shalat Tarawih yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam sebanyak 11 rakaat ? Padahal hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha yang termaktub dalam shahih Bukhary dan Muslim yang dia lihat sendiri !.

Tidaklah ini artinya syaikh bermain diatas dua tali dan menimbang dengan dua neraca ? Maka Allah-lah tempat memohon pertolongan, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka dapat kami katakan sebagai keterangan dari kenyataan yang dilalaikan syaikh Ismail Al-Anshari (semoga Allah memberinya petunjuk) sebagai berikut : “Sesungguhnya telah kami katakan sebelumnya –menurut persangkaannya –adalah sebagai isyarat dariku bahwa jalan ini (yang dinukil dari sebagian mereka yang menghasankannya) akan tetapi kami nyatakan akan kedhaifannya, sedangkan dia sendiri melihat dengan mata kepalanya bahwa disana ada ‘an’anah Abi Az Zubair dari Jabir. Dan jalan lain itu sendiri yang memperkuat yang pertamanya. Karena sesungguhnya ukurannya pada Abi Az Zubair pula”. (nashbu Ar-Raayah 1/22).

Maka, apakah ilmu syaikh dapat menangkap bahwa sebagian dari apa yang disepakati oleh para ulama dalam bidangnya yaitu diperbolehkan menguatkan hadist dhaif dengan jalan hadist itu sendiri dan bukan dengan semisalnya. Ataukah ia mengikuti hawa nafsu dan berusaha membela syaikh walaupun dengan menyelisihi kebenaran. Ataukah dia hanya taqlid seperti Syaukani dalam kitabnya Nail Al Authar yang disana banyak penukilan, penjiplakan dan sedikit tahqiq dan pemeriksaan dalam membicarakan hadist-hadistnya.

Akan tetapi ini tidak menghalangiku (dengan fadhilah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taufik-Nya) dari menyatakan secara terang-terangan bahwa aku mendapatkan di kemudian hari, penguat yang sangat kuat terhadap hadist Jabir ini dan dengan lafadz yang sama dari hadist riwayat Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu yang tidak pernah dilihat seorangpun sebelumku yang telah disebutkan dan diisyaratkan olehnya. Dan hadist ini shahih sanadnya di sisiku seperti yang dapat kalian lihat dalam kitabku Irwa’ul Ghalil 1/78.

Kalau seandainya Syaikh Al-Anshari menghendaki ilmu, nasehat dan bimbingan tidak mengapa menjadikan satu jalan menjadi dua dan sangat baik bagi kami sebagai dalil atas penguat ini. Akan tetapi perkaranya seperti yang dikatakan : “Yang miskin tidak akan dapat memberi sesuatupun”. Sesungguhnya aku telah melihatnya menyebutkan dalam bantahan-nya (hal.48) bahwa hadist Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu di sisi Daruquthni. Dan bahwa maknanya sama dengan maknanya hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu.

Mengingat aku tidak mengetahui, demia Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan aku menyangka dia juga tidak mengetahui- kenapa Daruquthni mengkhususkan penyebutannya sedangkan pengarang-pengarang kitab Sunan lain tidak. Walaupun lafadz mereka sama :
“Jangan mengambil manfaat dari bangkai, kulitnya maupun tulangnya”.

Dan sangkaannya terhadap makna hadist Jabir tidak dapat diterima, karena lebih khusus daripadanya, seperti tampak. Sungguh ia lalai dari lafadz yang merupakan lafadz hadist Jabir dengan huruf yang sama.

Maka segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menunjuki aku –walaupun beberapa saat kemudian- kepadanya, dan tidak seorangpun memergokiku disebabkan kelalaianku yang lalu. Kalau tidak…kami mohon keselamatan dan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan akhirat.

5. Syaikh tersebut belum merasa cukup mengada-adakan terhadapku. Sesungguhnya ia telah menasabkan kepadaku (hal.41) pada pembodohan terhadap Salaf. Subhanallah - Maha Suci Engkau Ya Allah ! Ini suatu kedustaan yang sangat besar. Padahal yang benar, sesungguhnya saya tidak punya dosa terhadap syaikh tersebut dan yang semacamnya dari para ahli Taqlid yang hasad, kecuali hanya karena aku mengajak kepada Salafus Shalih dam konsisten dengan madzhabnya, tidak dengan madzhab-madzhab orang-orang tertentu dari mereka. Itulah yang membawa syaikh tersebut untuk menyikapi aku sebagai musuh, yang hasad/dengki dalam rangka mengikuti alur mayoritas ahli taqlid, yang tidak mengenal agama melainkan apa yang ada pada nenek moyang mereka kecuali orang yang Allah lindungi dan mereka sedikit sekali.

Diantara keanehan syaikh ini, dia telah melewati seluruh masalah-masalah yang diisyaratkan diatas dan telah kita teliti dengan benar penjelasannya. Dan aku tidak ragu bahwa dia sependapat dengan kami pada sebagiannya minimal, atau bahkan kebanyakannya. Tapi dia tidak menyebutkan sikapnya terhadap riwayat-riwayat tersebut. Contohya ucapan kami : “Sesungguhnya bukan merupakan konsekwensi keshahihan 20 rakaat itu, meninggalkan amalan dari riwayat lain yang sesuai dengan hadist Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tidak menambah baik di bulan Ramadhan atau yang lainnya lebih dari 11 rakaat.”

Apakah lebih utama mengamalkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengamalkan apa yang dilakukan manusia di zaman Umar ? Itupun seandainya riwayat tersebut shahih dari perbuatan mereka. ?!

Syaikh tersebut tidak menampakkan sikapnya tentang hal itu, karena jika dia menguatkan perkara yang menyelisihi Sunnah, akan tampak hakekatnya di kalangan Ahlussunnah, tapi kalau menguatkan Sunnah akibatnya akan sesuai dengan Al-Albani, dan ini adalah sesuatu yang tidak diperkenankan oleh dirinya karena sebuah sebab atau lebih yang tidak tersembunyi lagi pada pembaca yang cerdas.

Ini adalah sebuah contoh dari banthan-bantahan yang kami lihat membantah buku kita yang terdahulu yaitu “Shalatut Tarawih” padahal yang (tersebar diatas –pent) adalah bantahan yang paling bagus diantara yang lain. Namun demikian pembaca telah mengetahui beberapa contoh yang ada padanya yang darinya nampak jelas kosongnya dari sikap adil dan jauh dari jalan para ulama yang tidak menginginkan, kecuali keterangan hakekat suatu masalah. Dan jika ini dari orang yang paling baik dan berilmu diantara mereka maka bagaimana dengan yang lain yang tidak memiliki ilmu dan akhlaq.

Dan karena buku kami tersebut (Shalat Tarawih) telah tercetak dan melewati masa yang panjang, sedang kebutuhan menuntut untuk dicetak ulang, dan dahulu cara pemaparannya telah mencapai maksud serta tujuannya yang terpenting yaitu memperingatkan mayoritas manusia kepada Sunnah dalam shalat tarawih serta membantah orang-orang yang menyelisihi kami, sehingga tersebarlah Sunnah ini di banyak masjid-masjid di Syiria dan Yordania dan selain keduanya dari negeri-negeri Islam.

Dan Alhamdulillah yang dengan nikmat-Nyalah perkara-perkara yang baik itu menjadi sempurna. Oleh karenanya saya mempunyai ide meringkas [Ringkasan itu berjudul “Qiyamu Ramadhan” yang kami beri judul dalam bahasa indonesia ini dengan “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah shallallhu ‘alihi wa sallam, pent] dengan cara yang ilmiah murni, Tanpa aku menyinggung seorang pun untuk membantahnya sebagaimana ucapan orang (sampaikan ucapanmu dan berjalanlah terus), yakni menulis setiap faedah ilmiyah yang ada dalam kitab asli dengan menambah faedah-faedah lain untuk menyempurnkannya. Dan Allah lah Yang Maha Suci yang dimohon untuk memberi manfaat dengan ringkasan ini sebagaimana memberikan manfaat dengan yang sebelumnya, dan agar memberikan ganjaran darinya, sungguh Dia adalah Dzat yang paling derma tatkala diminta.

(Dinukil dari buku terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Mukaddimmah Cetakan Pertama”, Hal : 14 - 37, Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)


Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=759 

 

Senin, 18 Juli 2011

Tanda-Tanda Kiamat

Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


source : koma5design.wordpress.com
Tentang datangnya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui, baik Malaikat, Nabi, maupun Rasul, masalah ini adalah perkara ghaib dan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat: ‘Kapankah terjadinya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]


Juga firman-Nya:


“Manusia bertanya kepadamu tentang hari Berbangkit. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu wahai (Muhammad), boleh jadi hari Berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]


Juga ketika Malaikat Jibril Alaihissalam mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya:


...فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ؟


“Kabarkanlah kepadaku, kapan terjadi Kiamat?”


Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab:


مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.


“Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” [1]


Meskipun waktu terjadinya hari Kiamat tidak ada yang mengetahuinya, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanda-tanda Kiamat tersebut. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada ummatnya tentang tanda-tanda Kiamat. Para ulama membaginya menjadi dua: (pertama) tanda-tanda kecil dan (kedua) tanda-tanda besar.


Tanda-tanda kecil sangat banyak dan sudah terjadi sejak zaman dahulu dan akan terus terjadi di antaranya adalah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, munculnya banyak fitnah, munculnya fitnah dari arah timur (Iraq), timbulnya firqah Khawarij, munculnya orang yang mengaku sebagai Nabi, hilangnya amanah, diangkatnya ilmu dan merajalelanya kebodohan, banyaknya perzinaan, banyaknya orang yang bermain musik[2] , banyak orang yang minum khamr (minuman keras) dan merebaknya perjudian, masjid-masjid dihias, banyak bangunan yang tinggi, budak melahirkan tuannya, banyaknya pembunuhan, banyaknya kesyirikan, banyaknya orang yang memutuskan silaturrahim, banyaknya orang yang bakhil, wafatnya para ulama dan orang-orang shalih, banyaknya orang yang belajar kepada Ahlul Bid’ah, banyaknya wanita yang berpakaian tetapi telanjang[3], dan lain-lainnya. [4]


Banyak sekali dalil tentang hal ini, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


اُعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتِيْ، ثُمَّ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ مُوْتَانٌ يَأْخُذُ فِيْكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ، ثُمَّ اسْتِفَاضَةُ الْمَالِ حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ مِائَةَ دِيْنَارٍ فَيَظَلُّ سَاخِطًا، ثُمَّ فِتْنَةٌ لاَ يَبْقَى بَيْتٌ مِنَ الْعَرَبِ إِلاَّ دَخَلَتْهُ، ثُمَّ هُدْنَةٌ تَكُوْنُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ بَنِي اْلأَصْفَرِ، فَيَغْدِرُوْنَ فَيَأْتُوْنَكُمْ تَحْتَ ثَمَانِيْنَ غَايَةً، تَحْتَ كُلِّ غَايَةٍ اِثْنَا عَشَرَ أَلْفًا.


“Perhatikanlah enam tanda-tanda hari Kiamat: (1) wafatku, (2) penaklukan Baitul Maqdis, (3) wabah kematian (penyakit yang menyerang hewan sehingga mati mendadak) yang menyerang kalian bagaikan wabah penyakit qu’ash yang menyerang kambing, (4) melimpahnya harta hingga seseorang yang diberikan kepadanya 100 dinar, ia tidak rela menerimanya, (5) timbulnya fitnah yang tidak meninggalkan satu rumah orang Arab pun melainkan pasti memasukinya, dan (6) terjadinya perdamaian antara kalian dengan bani Asfar (bangsa Romawi), namun mereka melanggarnya dan mendatangi kalian dengan 80 kelompok besar pasukan. Setiap kelompok itu terdiri dari 12 ribu orang.” [5]


Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ، وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا.


“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah : diangkatnya ilmu, tersebarnya kebodohan, diminumnya khamr, dan merajalelanya perzinaan.” [6]


Kemudian munculnya tanda-tanda yang kedua, yaitu tanda-tanda Kiamat yang besar sebagai tanda telah dekatnya hari Kiamat. Penulis khususkan pembahasan tentang sebagian tanda-tanda Kiamat yang besar, karena ada sebagian orang (golongan) yang menolak tentang tanda-tanda besar tersebut berdasarkan akal, ra’yu dan hawa nafsu. Padahal para ulama Ahlus Sunnah sudah membahas permasalahan ini dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits, dan kitab-kitab ‘aqidah mereka.


Pembahasan mengenai permasalahan ini mengikuti jejak para ulama Ahlus Sunnah dalam kitab-kitab mereka, seperti dalam kitab Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah [7] dan kitab-kitab lainnya.


Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani tentang adanya tanda-tanda Kiamat yang besar (kubra) seperti,[8] keluarnya Imam Mahdi, Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam dari langit, Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari barat, dan yang lainnya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan Malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabb-mu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengu-sahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula).’” [Al-An’aam: 158]


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ السَّاعَةَ لاَ تَكُوْنُ حَتَّى تَكُوْنَ عَشْرُ آيَاتٍ: خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ، وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ، وَخَسْفٌ فِي جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ، وَالدُّخَانُ، وَالدَّجَّالُ، ودَابَّةٌ، وَيَأْجُوْجُ وَمَأْجُوْجُ، وَطُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَنَارٌ تَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ عَدَنٍ تَرْحَلُ النَّاسَ، وَنُزُوْلُ عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ


“Hari Kiamat tidak akan terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda: (1) penenggelaman permukaan bumi di timur, (2) penenggelaman permukaan bumi di barat, (3) penenggelaman permukaan bumi di Jazirah Arab, (4) keluarnya asap, (5) keluarnya Dajjal, (6) keluarnya binatang besar, (7) keluarnya Ya’juj wa Ma’juj, (8) terbitnya matahari dari barat, dan (9) api yang keluar dari dasar bumi ‘Adn yang menggiring manusia, serta (10) turunnya ‘Isa bin Maryam Alaihissalam.” [9]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnotes
[1]. HSR. Muslim (no. 2, 3, 4 dan 8), Abu Dawud (no. 4605, 4697), at-Tirmidzi (no. 2610), Ibnu Majah (no. 63) dan Ahmad (I/52).
[2]. Musik di dalam Islam hukumnya haram, sebagaimana haramnya khamr, zina, perjudian, dan lain-lain.
[3]. Terbukanya aurat termasuk dosa besar.
[4]. Untuk mengetahui lebih lengkap, lihat Asyraathus Saa’ah (hal. 57-235), oleh Dr. Yusuf bin ‘Abdillah al-Wabil.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 3176), dari Sahabat ‘Auf bin Malik z.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 80).
[7]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 499) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[8]. Untuk lebih lengkapnya lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim karya Ibnu Katsir, tahqiq Ahmad Abdusy Syaafi’, cet. Daarul Kutub al-Ilmiyah 1411 H, Asyraathus Saa’ah oleh Dr. Yusuf al-Wabil, cet. Maktabah Ibnul Jauzi, Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissalam wa Qatlihi Iyyaahu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah Islamiyyah dan Fashlul Maqaal fii Raf’i ‘Isa Hayyan wa Nuzuulihi wa Qatlihid Dajjaal oleh Dr. Muhammad Khalil Hirras, cet. Maktabah As-Sunnah.
[9]. HR. Muslim (no. 2901 (40)), Abu Dawud (no. 4311), at-Tirmidzi (no. 2183), Ibnu Majah (no. 4055), Imam Ahmad (IV/6), dari Sahabat Hudzaifah bin Asiid Radhiyallahu 'anhu dan ini lafazh Muslim. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Tahqiiq Musnadil Imaam Ahmad (no. 16087). 


sumber : almanhaj.or.id


Minggu, 17 Juli 2011

Siapakah Ahlus Sunnah ?

Penulis : Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi


Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?

Telah menjadi ciri perjuangan iblis dan tentara-tentaranya yaitu terus berupaya mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju Allah merupakan tujuan tertinggi mereka.

Tidak ada satupun pintu kecuali akan dilalui iblis dan tentaranya. Dan tidak ada satupun amalan kecuali akan dirusakkannya, minimalnya mengurangi nilai amalan tersebut di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Iblis mengatakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala: “Karena Engkau telah menyesatkanku maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus dan aku akan benar-benar mendatangi mereka dari arah depan dan belakang, dan samping kiri dan samping kanan.”, (QS. Al A’raf : 17 )

Dalam upayanya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli kebenaran itu adalah orang yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan kebenaran itu menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan, dan dia mengatakan: “Sehingga Engkau ya Allah menemukan kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Al A’raf: 17)

Demikian halnya yang terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang. Mengapa demikian? Apakah keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah mereka sesungguhnya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus merujuk kepada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dan ulama salaf dalam menentukan siapakah mereka yang sebenarnya dan apa ciri-ciri khas mereka. Jangan sampai kita yang digambarkan dalam sebuah sya’ir:
Semua mengaku telah meraih tangan Laila
Dan Laila tidak mengakui yang demikian itu

Bahwa tidak ada maknanya kalau hanya sebatas pengakuan, sementara dirinya jauh dari kenyataan.

Secara fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan tentu memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Dan sesuatu yang diakuinya, tentu memiliki makna jika mereka berlambang dengannya. Mereka mengakui bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah mereka memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan mengatakan bahwa dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga yang lain adalah salah. Mereka tidak sadar, kalau pengakuannya tersebut merupakan langkah untuk membongkar kedoknya sendiri dan memperlihatkan kebatilan jalan mereka. Yang akan mengetahui hal yang demikian itu adalah yang melek dari mereka.

As Sunnah
Berbicara tentang As Sunnah secara bahasa dan istilah sangat penting sekali. Di samping untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengakui sebagai Ahlus Sunnah. Mendefinisikan As Sunnah ditinjau dari beberapa sisi yaitu sisi bahasa, syari’at dan generasi yang pertama, ahlul hadits, ulama ushul, dan ahli fiqih.

As Sunnah menurut bahasa
As Sunnah menurut bahasa adalah As Sirah (perjalanan), baik yang buruk ataupun yang baik. Khalid bin Zuhair Al Hudzali berkata:
Jangan kamu sekali-kali gelisah karena jalan yang kamu tempuh
Keridhaan itu ada pada jalan yang dia tempuh sendiri.

As Sunnah menurut Syari’at Dan Generasi Yang Pertama
Apabila terdapat kata sunnah dalam hadits Rasulullah atau dalam ucapan para sahabat dan tabi’in, maka yang dimaksud adalah makna yang mencakup dan umum. Mencakup hukum-hukum baik yang berkaitan langsung dengan keyakinan atau dengan amal, apakah hukumnya wajib, sunnah atau boleh.

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari 10/341 berkata: “Telah tetap bahwa kata sunnah apabila terdapat dalam hadits Rasulullah, maka yang dimaksud bukan sunnah sebagai lawan wajib (Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak akan berdosa, pent.).”

Ibnu ‘Ajlan dalam kitab Dalilul Falihin 1/415 ketika beliau mensyarah hadits ‘Fa’alaikum Bisunnati’, berkata: “Artinya jalanku dan langkahku yang aku berjalan di atasnya dari apa-apa yang aku telah rincikan kepada kalian dari hukum-hukum i’tiqad (keyakinan), dan amalan-amalan baik yang wajib, sunnah, dan sebagainya.”
Imam Shan’ani berkata dalam kitab Subulus Salam 1/187, ketika beliau mensyarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri, “di dalam hadits tersebut disebutkan kata ‘Ashobta As Sunnah’, yaitu jalan yang sesuai dengan syari’at.”

Demikianlah kalau kita ingin meneliti nash-nash yang menyebutkan kata “As Sunnah”, maka akan jelas apa yang dimaukan dengan kata tersebut yaitu: “Jalan yang terpuji dan langkah yang diridhai yang telah dibawa oleh Rasulullah. Dari sini jelaslah kekeliruan orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu yang menafsirkan kata sunnah dengan istilah ulama fiqih sehingga mereka terjebak dalam kesalahan yang fatal.

As Sunnah Menurut Ahli Hadits
As sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).

As Sunnah Menurut Ahli Ushul Fiqih
Menurut Ahli Ushul Fiqih, As Sunnah adalah dasar dari dasar-dasar hukum syaria’at dan juga dalil-dalilnya.
Al Amidy dalam kitab Al Ihkam 1/169 mengatakan: “Apa-apa yang datang dari Rasulullah dari dalil-dalil syari’at yang bukan dibaca dan bukan pula mu’jizat atau masuk dalam katagori mu’jizat”.

As Sunnah Di Sisi Ulama Fiqih
As Sunnah di sisi mereka adalah apa-apa yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.

Di sini bisa dilihat, mereka yang mengaku sebagai ahlus sunnah -dengan menyandarkan kepada ahli fikih-, tidak memiliki dalil yang jelas sedikitpun dan tidak memiliki rujukan, hanya sebatas simbol yang sudah usang. Jika mereka memakai istilah syariat dan generasi pertama, mereka benar-benar telah sangat jauh. Jika mereka memakai istilah ahli fiqih niscaya mereka akan bertentangan dengan banyak permasalahan. Jika mereka memakai istilah ulama ushul merekapun tidak akan menemukan jawabannya. Jika mereka memakai istilah ulama hadits sungguh mereka tidak memilki peluang untuk mempergunakan istilah mereka. Tinggal istilah bahasa yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam melangkah, terlebih menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya.

Siapakah Ahlus Sunnah

Ahlu Sunnah memiliki ciri-ciri yang sangat jelas di mana ciri-ciri itulah yang menunjukkan hakikat mereka.

1. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka. Rasulullah bersabda:
“ Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)

2. Mereka kembalikan segala bentuk perselisihan yang terjadi di kalangan mereka kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan siap menerima apa-apa yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasulullah. Firman Allah:
“Maka jika kalian berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu adalah baik dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
“Tidak pantas bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36)

3. Mereka mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan (ucapan selain Allah dan Rasul ) terhadap ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kalian kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat: 1)

4. Menghidupkan sunnah Rasulullah baik dalam ibadah mereka, akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehigga mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya. Rasulullah bersabda tetang mereka:
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

5. Mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan mereka tidak fanatisme kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Imam Malik mengatakan: “Tidak ada seorangpun setelah Rasulullah yang ucapannya bisa diambil dan ditolak kecuali ucapan beliau.”

6. Mereka adalah orang-orang yang menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabatnya.

7. Mereka adalah orang-oang yang memikul amanat amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala jalan bid’ah (lawannya sunnah) dan kelompok-kelompok yang akan mencabik-cabik barisan kaum muslimin.

8. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia yang menyelisihi undang-undang Allah dan Rasulullah.

9. Mereka adalah orang-orang yang siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.

Syaikh Rabi’ dalam kitab beliau Makanatu Ahli Al Hadits hal. 3-4 berkata: “Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mendahulukan keduanya atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlaq, politik, maupun, persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat dan takwil jahilin. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Murji’ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah, mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat, dan mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.”

Ciri Khas Mereka
1. Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah bersabda:
“Berbahagialah orang yang asing itu (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah orang-orang yang jahat. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)

Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Madarijus Salikin 3/199-200, berkata: “Ia adalah orang asing dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka, asing pada berpegangnya dia terhadap sunnah dikarenakan berpegangnya manusia terhadap bid’ah, asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak keyakinan mereka, asing pada shalatnya dikarenakan jelek shalat mereka, asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan mereka, asing pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah mereka, asing dalam pergaulannya bersama mereka dikarenakan bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka”.

Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang berilmu ditengah orang-orang jahil, pemegang sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma’ruf.”

Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al Kurbah Fi Washfi Hal Ahli Gurbah hal 16-17 mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah, dan berpartai-partai yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah: “Dan terus menerus sekelompok kecil dari umatku yang membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang mampu memudharatkannya siapa saja yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”

2. Mereka adalah orang yang berada di akhir jaman dalam keadaan asing yang telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang memperbaiki ketika rusaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia dari sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang lari dengan membawa agama mereka dari fitnah. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.

Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al Auza’i mengatakan tentang sabda Rasulullah: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.” Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahlus Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji sunnah dan mensifatinya dengan asing dan mensifati pengikutnya dengan kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal 103-104)

Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. Allah berfiman:
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”

Dari pembahasan yang singkat ini, jelas bagi kita siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah dan siapa-siapa yang bukan Ahlus Sunnah yang hanya penamaan semata. Benarlah ucapan seorang penyair mengatakan :
Semua orang mengaku telah menggapai si Laila
Akan tetapi si Laila tidak mengakuinya 


Walhasil Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman, amalan, dan dakwah salafus shalih.
 

Sumber : http://www.salafy.or.id/

Antara Ahlus Sunnah Dan Salafiyah (Bagian Kedua)

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

source : oathey.wordpress.com
Antara Ahlus Sunnah dan Salafiyah

Di sini juga perlu dijelaskan antara istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan Salafiyah. Suatu hal yang perlu dicermati dari tingkah laku sebagian da'i adalah mereka tidak mau menyebut dakwah mereka dengan dakwah salafiyah, walapun secara tegas mereka menyatakan bahwa aqidah mereka adalah salafi. Mereka hanya mau mempopulerkan dakwah mereka dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mereka mengulang-ulang nama tersebut di berbagai kesempatan, ketika menyampaikan pidato atau ketika menulis buletin. Ini merupakan ketetapan Allah yang agung. Supaya dakwah yang haq nampak beda dengan dakwah-dakwah yang menyerupainya. Agar dakwah yang haq tidak tercampur dari segala hal yang mengaburkannya.

Penjelasan tentang hal itu sebagai berikut: Sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah muncul ketika timbul bid'ah-bid'ah yang meyesatkan sebagian manusia. Maka perlu nama untuk membedakan umat islam yang komitmen dengan sunnah. Nama itu adalah Ahlus Sunnah sebagai lawan Ahlu Bid'ah. Ahlus Sunnah juga disebut Al-Jama'ah, karena mereka adalah kelompok asal (asli). Sedangkan orang-orang yang terpecah dari ahlus sunnah dikarenakan bid'ah dan hawa nafsu adalah orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Sedangkan saat ini, istilah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah telah menjadi rebutan berbagai kaum dan jama'ah yang beraneka ragam. Bisa kita saksikan sendiri, banyak kaum hizbi yang menyebut jama'ah dan organisasi mereka dengan istilah ini. Bahkan beberapa tharekat Sufi melakukan tindakan yang sama. Sampai-sampai Asy'ariyah, Maturidiyah, Barilawiyah dan lain-lainnya mengatakan 'Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah'.

Namun mereka semua menolak untuk menamakan diri mereka dengan Salafiyah. Mereka menjauhkan diri untuk menisbatkan kepada manhaj salaf, terlebih lagi kenyataan dan hakikat mereka (yakni mereka jauh dari mengikuti Salafush Shalih).

Ini adalah suatu yang biasa bagi kita, karena termasuk perkara yang sudah maklum di kalangan para dai yang mengajak kepada Al Quran dan as Sunnah dengan pemahaman ulama salaf, bahwa slogan/prinsip para ahli bid'ah adalah tidak menganut prinsip mengikuti salaf. Karena ittiba' (mengikuti) sesungguhnya mengikuti pemahaman salaf merupakan kata pemutus terhadap perselisihan pemahaman-pemahaman orang-orang di masa kini. Karena sebagian orang menghukumi dengan akalnya, yang lain menghukumi dengan dasar pengalamannya, yang lain lagi menghukumi dengan emosi.

Demikianlah pemahaman mereka, tanpa memperhatikan jalan orang-orang yang beriman (yaitu jalan para sahabat) yang wajib diikuti dan didakwahkan. Jalan orang-orang yang beriman itu pada hakikatnya adalah jalan Salafush Shalih, yang kita menisbatkan diri kepadanya dan kita mengambil petnjuk cahayanya. Karena itu slogan Ahlus sunnah adalah mengikuti salafush shalih dan meninggalkan segala sesuatu yang bid'ah dan baru dalam agama.

Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak 'karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]

Pada zaman ini banyak pengakuan-pengakuan sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah (memang pada hakekatnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan sifat di antara sifat-sifat salafiyah), Maka ada keharusan untuk membedakan diri dari orang-orang yang mengaku-aku Ahlus Sunnah wal Jama'ah (namun mereka menyelisihi sunnah, baik dalam aspek aqidah maupun manhaj) dengan menisbatkan diri dengan manhaj yang mereka ketakutan untuk terang-terangan menyatakannya dan tidak merasa terhormat dengan bernisbat kepadanya. Karena hal itu akan mengadili mereka apakah mereka mencocoki atau menyelisihi manhaj itu yaitu manhaj salaf dalam metode dan tujuan dakwah, atau dalam aqidah, fiqih, persepsi tentang Islam dan perilaku.

Juga perlu dikatakan kepada orang yang mengikngkari penisbatan kepada Salafiyah. Sesungguhnya menisbatkan diri kepada salaf dan terus terang berbangga terhadap setiap orang yang menyelisihi kebenaran, baik menyelisihi dalam perilaku maupun pembuatan teori-teori, dan terang-terangan menyatakan bahwa satu-satunya dakwah yang benar adalah dakwah salafiyah, itu semua bukanlah aib. Tidak ada bahaya bagi pelakunya. Karena salafiyah adalah nisbat kepada salaf. Penisbatan ini tidak pernah terpisah meski dalam sekejap mata dari umat Islam sejak terbentuknya minhaj kenabian. Salafiyah itu mencakup semua umat Islam yang menempuh metode generasi pertama dan orang-orang yang mengikuti mereka, dalam metode mendapatkan ilmu, memahami ilmu dan mendakwahkannya. Jadi Salafiyah tidak lagi terbatas pada fase sejarah tertentu, bahkan harus dipahami bahwa makna salaf terus berjalan sepanjang kehidupan dunia.

Hal ini makin dikuatkan bahwa Salafiyah mencakup setiap bagian dari Islam yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jadi Salafiyah bukanlah suatu corak beragama yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, baik dengan menambah ataupun dengan menguranginya.

Termasuk perkara yang perlu diperhatikan, seandainya umat ini telah berada di dalam bentuk Islam yang benar, tanpa tercampur dengan bid'ah dan hawa nafsu, sebagaimana yang terjadi di masa awal Islam terutama masa salafus shalih, niscaya lenyaplah berbagai sebutan yang berfungsi sebagai pembeda karena tidak adanya penentang.

Karena hal itu maka ikatan wala' (kecintaan) dan bara'(berlepas diri), pembelaan dan permusuhan menurut orang-orang yang menisbatkan diri kepada salaf adalah berdasarkan Islam. Bukan yang lain. Tidak dengan corak tertentu selain Islam. Wala' dan bara' itu hanyalah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah saja.

Dengan ini semua, benar-benar jelas bahwa makna Salafiyah dan hakikat penisbatan kepada salaf adalah nisbat kepada salaf shalih, yaitu semua sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Bukan orang-orang setelah sahabat yang dibelokkan oleh hawa nafsu, yang mereka adalah generasi yang buruk. Generasi yang menyimpang dari salaf shaleh dengan nama atau corak tertentu. Dari sinilah mereka dinamai khalaf (orang yang datang kemudian) dan penisbatannya adalah khalafi.

Jadi Salafiyah tidak memiliki corak yang keluar dari Kitab dan Sunnah. Salafiyah adalah nisbat yang tidak pernah terpisah sekejappun dari generasi pertama. Bahkan Salafiyah adalah bagian dari mereka dan merujk kepada mereka.

Sedangkan orang-orang yang menyelisihi salaf shalih dengan nama atau corak tertentu, bukanlah bagian dari mereka, meski hidup di tengah-tengah mereka atau senantiasa dengan mereka. Karena itulah para sahabat berlepas diri dari Qadariyah, Murjiah dan lain-lain.

Jika demikian maka asas-asas dan kaedah-kaedah untuk mengikuti salaf harus nampak jelas dan tegar. Sehingga tidak merancukan orang-orang yang ingin mengikuti salafus shaleh.

Karena itulah harus ada pembeda antara Ahlus Sunnah dengan para pengaku Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Yaitu dengan sebuah nisbat yang mereka tidak berani menggunakannya. Karena penisbatan itu akan membongkar penyimpangan dan cacat jika dicek/dibandingkan dengan jalan orang-orang yang beriman (yaitu sahabat) dan metode salafus shalih. Pembeda itu adalah Salafiyah. Jalan salaf shalih itulah jalan yang jelas tanpa perlu diragukan. Yakni jalan para sahabat dan tabi'in. Inilah jalan petunjuk dan jalan untuk mendapatkan petunjuk.

“Artinya : Maka janganlah orang-orang yang tidak mau beriman dan mengikuti hawanya menghalangimu darinya sehingga engkau akan binasa’ [Thaha :16]


[Disalin dari terjemahan Mukadimah Kitab Ru'yah Waqi'iyah karya Syaikh Ali bin Hasan al Halabi oleh Ibnu Ahmad al Lambunji dari majalah As Sunnah Edisi 02/Tahun VI/1423H/2002M]




Antara Ahlus Sunnah Dan Salafiyah (Bagian Pertama)

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

ANTARA AQIDAH DAN MANHAJ

Tidaklah ragu bahwa sebagian da'i manhaj dakwah yang baru (yaitu dakwah yang mengikuti salaf dalam pokok-pokok aqidah saja, tidak dalam seluruh sisi agama) bersepakat dengan kita dalam "pokok-pokok aqidah", artinya mereka mengakui aqidah sesuai dengan metode ulama salaf, baik yang berkaitan dengan tauhid uluhiyah, tauhid asma 'wa shifat dan berbagai pembahasan iman yang lain.

Saya katakan "pokok-pokok aqidah" karena di sana ditemukan perbedaan dalam menerapkan beberapa rincian aqidah. Misalnya tauhid uluhiyah dengan tauhid hakimiyah/mulkiyah. (pendapat) yang membedakan dua tauhid diatas, di zaman ini, mula-mula dinukil dari tulisan-tulisan Abul A'la al Maududi, Sayid Qutb, kemudian saudaranya, yaitu Muhammad Qutb, dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Para da'i itu mengambil pendapat mereka, yang hal ini sesuai dengan hasrat para pemuda yang sedang tumbuh semangat dan emosi mereka. Mereka senang mendapatkannya, menjadikannya sebagai tema dakwah serta simbol manhaj mereka.

Andaikan mereka mau sejenak merenungkan, niscaya akan mengetahui kesalahan istilah tauhid hakimiyah dari dua segi :

[1]. Istilah tersebut adalah istilah baru yang tidak ada faedahnya, kecuali hanya membesar-besarkan beberapa masalah daripada masalah-masalah lainnya.

[2]. Tauhid hakimiyah, yang menurut mereka adalah makna dari firman Allah:

"Artinya : Tidaklah menetapkan hukum itu melainkan hak Allah" [Al-An'aam:57]

Adalah bagian dari keumuman makna tauhid uluhiyah. Ini adalah suatu yang sangat jelas. Kalau demikian, membedakannya adalah perbuatan sia-sia.

Tauhid uluhiyah adalah aspek paling penting dalam dakwah para Rasul sebagaimana yang dipaparkan Al-Quran. Tauhid ini merupakan tema konflik yang terjadi antara para Rasul dengan para penentang dan musuh mereka di setiap umat. Tauhid ini hingga sekarang menjadi tema konflik antara pembela kebenaran dan pendukung kesesatan. Bahkan mungkin hal ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Sebagai ujian bagi ahli waris para Rasul dan sebagai sarana untuk meninggikan kedudukan mereka di hadapan Allah.

Pemisahan tauhid uluhiyah dengan hakimiyah ini menyebabkan prioritas dakwah Islam menjadi berantakan. Dalam kitab "Al-Usus Al-Akhlaqiyyah" Al-Maududi menyatakan: "Tujuan hakiki agama (Islam) adalah menegakkan sistem imamah/kepemimpinan yang shalih lagi terbimbing".

Ini adalah ucapan yang tidak berdasar, karena tujuan hakiki agama ini, tujuan penciptaan jin dan manusia, tujuan para Rasul diutus dan tujuan berbagai kitab samawi diturunkan adalah beribadah kepada Allah dan memurnikan ketundukan kepadaNya.

Meski demikian, bentuk perpecahan nampak jelas dalam manhaj dan metode yang ditempuh para da'i tersebut untuk mewujudkan aqidah dan tujuannya. Inilah titik perbedaan antara dakwah salafiyah dengan dakwah-dakwah lainnya, yang hanya mengadopsi aqidah salafiyah namun menyelisihi manhajnya.

Untuk mengetahui perbedaan aqidah dengan manhaj, saya katakan:

Allah Ta'ala berfirman:

“Artinya : Untuk setiap kalian, kami jadikan manhaj dan syariat yang berlainan” [Al Maidah : 48]

Ibnu Abbas berkata, 'Jalan dan sunnah' [Lalikai:66, Thabari 6/271]

Ibnu Katsir dalam tafsirnya 2/105 menyatakan : “Ayat ini berisi informasi tentang berbagai umat yang berbeda-beda agamanya, dari sisi perbedaan syariat dalam hukum amaliah, tetapi sama dalam masalah tauhid”

Jadi ayat ini mengisyaratkan kesatuan dakwah para Nabi dalam aspek tauhid dan perbedaan mereka dalam manhaj, jalan dan metode.

“Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu “ [Al Jatsiyah :18]

Sufyan bin Husain menyatakan (berada di atas suatu syariat), yaitu: 'di atas Sunnah' [Thabari 6/271].

Walhasil syariat Islam ini memilih manhaj yang jelas, kita diperintahkan untuk mengikutinya, yaitu jalan orang-orang beriman. Manhaj ini secara sangat gamblang telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran. Bahkan Allah mendorong untuk mengikutinya dan mencela keras orang yang menyelisihinya, sebagaimna dalam firmanNya:

“Artinya :Barangsiapa menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk/ilmu dan menempuh bukan jalan orang-orang beriman, maka Kami akan palingkan ia ke mana ia mau, dan Kami akan memasukkannya ke dalam jahanam. Itulah sejelek-jelek tempat kembali” [An-Nisaa':15]

Ini merupakan penjelasan yang sangat gambalang dan hujjah yang sangat kuat bagi para hambaNya untuk menyatakan kewajiban menempuh jalan orang-orang yang beriman. Allah juga mengancam kepada orang yang keluar dari jalan orang-orang yang beriman dan menempuh selain jalan mereka. Allah akan meninggalkan mereka di dunia, dan akan menyiksanya di akhirat nanti dengan azab yang menyakitkan.

Akan kami tegaskan lagi manhaj dan urgensinya. Manhaj itu adalah manhaj para shahabat dan orang-orang yang menempuh jalan mereka, baik tabiin maupun tabiut tabiin. Merekalah Salafush Shalih yang mendapat rekomendasi dari Nabi. Karena mereka adalah generasi yang memiliki pemahaman pada masa wahyu diturunkan. Mereka sendiri menyaksikan Al-Quran diturunkan. Tentu, mereka adalah orang yang memiliki pemahaman yang paling dekat dengan kehendak Allah dan RasulNya serta mengetahui sisi-sisi pemahaman hukum.

Maka kita menempuh manhaj mereka, mengikuti petunjuk mereka, menisbatkan diri dan mengajak kepada manhaj itu. Manhaj mereka adalah menekuni dakwah, saling mewasiatkan kebenaran dan komitmen dengan jalan yang lurus.

“Artinya : Katakanlah, inilah jalanku mengajak kepada agama Allah berdasarkan ilmu, aku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik” [Yusuf :108]

“Artinya : Dan Inilah jalanku yang lurus, ikutilah ia dan jangan kalian menikuti berbagai jalan yang lain niscaya kalian akan terpisah dari jalanNya” [Al An'am :153]

Pemahaman salaf merupakan rujukan pokok, karena mereka adalah orang yang berfitrah lurus, beriman yang benar, memiliki kefasihan dan Al Quran turun dengan menggunakan bahasa mereka.

Demikian pula Rasulullah di tengah-tengah mereka. Beliau jelaskan hal-hal yang musykil, beliau singkap hal-hal yang samar/tidak jelas dalam pikiran mereka dan selalu meluruskan jalan mereka.

Nash Al Quran dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan dan ketinggian kedudukan mereka, sudah sampai derajat mutawatir. Kedudukan ini mereka dapatkan, karena mereka pendahulu dalam menempuh jalan-jalan kebaikan. Allah menjadikan mereka sebagai panutan beragama bagi orang-orang sesudah mereka. Allah juga menyanjung orang-orang yang mau mengikuti dan menempuh jalan mereka. Sedangkan pengikut itu mendapatkan keutamaan karena disebabkan keutamaan orang yang diikuti sebagaimana firman Allah:

“Artinya : Orang-orang terdahulu lagi pertama kali masuk Islam di antara muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”.[At Taubah :100]

Inilah cuplikan dan keutamaan manhaj salaf dan keistimewaannya dibandingkan manhaj-manhaj yang baru atau menyimpang. Manhaj yang dibangun di atas kepasrahan mutlak kepada perintah Allah dan RasulNya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan, menoleh kepada istihsan (anggapan baik berdasarkan akal/perasaan) atau mengkonsentrasikan kepada emosi, semangat atau pendapat manusia.

Dalil tentang hal ini, berlimpah ruah dalam Al-Quran dan Sunnah. Di sini akan disebutkan dua diantaranya. Kedua dalil ini merupakan penjelasan yang gamblang berkaitan dengan kerangka umum manhaj yang lurus ini.

Pertama.
“Artinya : Maka tidak, demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam hal-hal yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian mereka tidak mendapatkan kesempitan dalam diri mereka terhadap keputusan yang engkau berikan dan mereka benar-benar memasrahkan diri” [An Nisaa' : 65]

Kedua:
Perkataan Rafi bin Khadij dalam sebuah hadits:
“Artinya : Rasulullah melarang dari hal yang bermanfaat bagi kami. Namun ketaatan kepada Allah dan RasulNya lebih bermanfaat bagi kami” [Hadits Riwayat Muslim no 1548]

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak jelas perbedaan global antara aqidah dan manhaj. Intinya, manhaj itu dibangun berdasarkan kepasrahan yang mutlak. Namun di sini harus dijelaskan bahwa terus-menerus menyimpang dari manhaj akan menyebabkan penyimpangan dalam aqidah dan tauhid itu sendiri. Orang yang mengamati jama'ah-jama'ah dakwah kontemporer akan melihat bukti jelas tentang hal itu.

Bukanlah sudah maklum dalam pembinaan keimanan yang dilakukan Allah, bahwa Allah akan menghukum tindakan dosa dengan mengerjakan dosa yang lain, inilah hukuman dosa yang paling keras.

Seperti itulah karena penyimpangan umat Islam dalam amal dan perilaku, umat ini dihukum dengan terjadinya penyimpangan dalam aqidah dan persepsi.


[Disalin dari terjemahan Mukadimah Kitab Ru'yah Waqi'iyah karya Syaikh Ali bin Hasan al Halabi oleh Ibnu Ahmad al Lambunji dari majalah As Sunnah Edisi 02/Tahun VI/1423H/2002M]


Sumber : almanhaj.or.id
 


Prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah

Penulis: Ustadz Agus Suaidi, Gresik

source : lablink.or.id
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah setiap orang dari manapun asalnya yang mengikuti ajaran Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya baik dalam hal keyakinan, amalan maupun ucapan.

Ada enam prinsip utama yang membedakan antara Ahlus Sunnah al Jamaah dan golongan lain.

Pinsip Ahlusunnah yang pertama:
Ikhlas dalam Beribadah


Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan atau memurnikan sesuatu dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syar’i, ikhlas adalah membersihkan dan memurnikan ibadah dari segala jenis kotoran syirik.

Setelah diketahui pengertian ikhlas menurut pengertian syar’i, dapat diambil kesimpulan bahwa orang dikatakan ikhlas dalam beribadah apabila ia bertauhid dan meninggalkan segala jenis syirik.

Perlu diketahui, bahwa seseorang itu dikatakan bertauhid apabila meyakini dengan mantap tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik. Lalu apa saja tiga jenis tauhid yang harus diyakini?

Tauhid yang pertama: Tauhid Rububiyyah, maksudnya kita harus yakin bahwa yang mencipta, yang memberi rezeki dan yang mengatur alam semesta hanya Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tauhid yang kedua: Tauhid Uluhiyyah, maksudnya yakin bahwa yang berhak disembah dan diberikan segala bentuk peribadatan hanyalah Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tauhid yang ketiga: Tauhid Asma’ wa Sifat, maksudnya kita harus yakin bahwa Allah Ta’ala memiliki Nama dan Sifat yang Mulia dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Kita harus meyakini seluruh Nama dan Sifat Allah yang ada di dalam Alquran dan Assunnah apa adanya.

Setelah meyakini ketiga jenis tauhid ini, maka wajib meninggalkan dua jenis syirik yang menjadi musuh bagi orang-orang yang bertauhid.

Syirik yang pertama disebut Syirik Akbar, yaitu syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Syirik jenis ini amat banyak jumlah dan macamnya, di antaranya adalah: meyakini ada yang mencipta dan yang mengatur alam ini selain Allah Ta’ala, meminta rejeki atau jodoh kepada orang yang telah mati atau kepada jin, menolak sebagian atau seluruh Nama dan Sifat Allah Ta’ala dan masih banyak bentuk lainnya.

Syirik yang kedua disebut Syirik Asyghar, yaitu syirik kecil yang tidak menyebabkan pelakunya dikeluarkan dari Islam. Namun dosanya lebih besar daripada dosa zina, dosa mencuri atau kemaksiatan lainnya. Di antara amalan yang termasuk jenis syirik ini adalah riya’ (ingin dilihat oleh orang ketika beribadah), sum’ah (ingin didengar ibadahnya oleh orang lain), bersumpah dengan nama selain Allah, memakai jimat dengan keyakinan bahwa kekuatannya bersumber dari Allah. Untuk yang satu ini bila diyakini bahwa sumber kekuatan itu dari jimatnya, maka sudah termasuk Syirik Akbar. Dan masih banyak lagi macamnya.

Siapa saja yang telah meyakini tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik ini, maka dia telah ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Inilah prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus diperjuangkan. Anda bisa melihat, mereka terus berdakwah menegakkan tauhid dan memberantas segala penyakit syirik walaupun banyak kalangan yang menentangnya, mereka memiliki dasar Alquran Surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan cara ikhlas dalam melaksanakan agama-Nya dan Hanif (meninggalkan segala jenis syirik) ...”

Pinsip Ahlusunnah yang kedua:
Bersatu di atas Alquran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah


Banyak aktivis Islam yang saat ini menyerukan persatuan umat. Ada yang menggunakan partai sebagai alat pemersatu, ada juga yang menggunakan suku bangsa bahkan ada juga yang menyatukan umat dengan slogan “yang penting muslim”, walaupun keyakinan dan prinsip hidupnya berbeda-beda. Akibatnya terjadi banyak perpecahan di kalangan mereka karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Kalaupun secara dhohir mereka bersatu, banyak prinsip Alquran dan Assunnah yang dikorbankan dalam rangka menjaga persatuan antara mereka.

Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki prinsip persatuan yang mantap dan akan terus diperjuangkan. Apa itu? Yaitu bersatu di atas Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah.

Mengapa harus bersatu diatas Alquran dan Assunnah? Karena ini memang perintah dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah seluruhnya dan jangan kalian berpecah belah ...”

Ibnu Mas’ud radliyallahu ’anhu berkata: “Tali Allah artinya Kitabullah”. (Tafsir Ibnu Jarir dan lainnya)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik, Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no: 186)

Bila ada yang berkomentar, “Banyak kelompok yang mengklaim dirinya di atas Alquran dan Assunnah, namun kenapa terjadi perbedaan prinsip dan cara pandang yang menyebabkan mereka terpecah belah?” Untuk menjawab pertanyaan ini cukup mudah, “Karena mereka memahami Alquran dan Assunnah dengan kemampuan akal yang disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan kelompoknya”.

Lalu bagaimana seharusnya? Dalam memahami Alquran dan Assunnah wajib merujuk kepada pemahaman dan penjelasan dari Salaful Ummah. Siapa sebenarnya Salaful Ummah itu? Mereka adalah para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang betul-betul paham maksud Al Quran dan Assunnah karena merekalah yang langsung mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mengapa harus sesuai dengan pemahaman mereka, bukankah mereka juga manusia seperti kita? Karena mereka dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka telah diridlai oleh Allah Ta’ala. Di dalam surat At-Taubah ayat 100 disebutkan yang artinya: “Generasi pertama dari kalangan shahabat Muhajirin dan Ashor serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada-Nya”.

Di samping itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita untuk mengikuti pemahaman para shahabat. “Sesungguhnya barang siapa yang masih hidup sepeninggalku nanti,ia akan melihat perbedaan prinsip yang banyak sekali, untuk itu wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham dan jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no: 4607). Inilah prinsip persatuan umat yang harus dijadikan sebagai pegangan.

Barang siapa yang menggunakan cara lain untuk menyatukan umat maka ia akan menuai kegagalan atau mungkin berhasil tetapi bersatu diatas kebatilan. Wallahu A’lam. 

Prinsip Ahlusunah yang ketiga:
Larangan Memberontak dan Kewajiban Mentaati Penguasa Muslim yang Sah dalam hal yang ma’ruf (benar)


Menggulingkan kekuasaan pemerintah pada saat ini seolah-olah menjadi tujuan kebanyakan orang. Mereka ingin tokoh idolanya menjadi pemegang tampuk kekuasaan, lebih-lebih bila sang penguasa memiliki banyak kelemahan walaupun masih sah dan beragama Islam, mereka berusaha mati-matian untuk menggulingkan dengan mengatasnamakan rakyat dan keadilan. Ada juga yang memanfaatkan keadaan untuk merebut pangkat dan jabatan dengan cara membela sang penguasa habis-habisan bahkan membenarkan seluruh ucapan dan keputusan walaupun menyimpang jauh dari syari’at Islam. Lalu bagaimana prinsip Al Quran dan Assunnah menurut pemahaman salaful ummah dalam menyikapi sang penguasa ?

Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul dan Ulil Amri (pemimpin/penguasa muslim)...”

Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut:

“Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, mereka adalah pemimpin negara, hakim atau mufti (ahli fatwa). Karena urusan agama dan dunia tidak akan berjalan dengan baik melainkan dengan cara taat dan tunduk kepada Ulil Amri sebagai wujud taat kepada perintah Allah dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya. Akan tetapi dengan syarat penguasa tidak memerintah kita untuk berbuat maksiat. Bila diperintah untuk maksiat maka tidak ada ketaatan sedikitpun kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Al-Khaliq. Barangkali inilah rahasia tidak disebutkannya fi’il amr (kata perintah) ketika Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri dan sebaliknya disebutkan fi’il amr ketika memerintah untuk taat kepada Rasul-Nya. Karena beliau hanya memerintah untuk mentaati Allah, sehingga barang siapa yang mentaati beliau sama saja dengan mentaati Allah Ta’ala. Adapun Ulil Amri baru ditaati bila tidak memerintah untuk bermaksiat.”

Dalam hadits shahih disebutkan, dari Ubadah bin Shomit, Radiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengambil janji setia kepada kami, agar kami mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam keadaan bersemangat atau lesu, dalam keadaan sulit atau mapan meskipun kami dizalimi, dan agar kami tidak menggulingkan kekuasaan lalu beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat ada kekufuran yang nyata (pada penguasa) dan kalian memiliki dalil dari Allah dalam masalah tersebut.” (HR. Muslim/1709, Nasa’i dan lainnya)

Dari keterangan Al Quran dan Assunnah inilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berprinsip bahwa: Wajib bagi kita mentaati penguasa muslim yang sah dalam hal yang ma’ruf (bukan maksiat) dan haram menggulingkan kekuasaannya dengan alasan apapun kecuali memenuhi dua syarat yang telah dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah setelah membawakan hadits di atas. Apa dua syarat tersebut?

Syarat pertama: Adanya kekufuran yang nyata pada diri sang penguasa dan kita menemukan dalil syar’i dalam masalah kekufuran tersebut.

Syarat kedua: Adanya kemampuan untuk menyingkirkan penguasa tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan madlarat yang lebih besar.

Tanpa kedua syarat ini, maka tidak boleh! (Al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqoh Bainal Hakim wal Mahkum hal. 19)

Wahai kaum muslimin, kembalilah kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Wallahul musta’an. 

Prinsip Ahlusunah yang keempat:
Menggapai Kemuliaan dengan Ilmu Syar’i


Kita semua sepakat bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Al Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56. Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi kita untuk mengerti, apa yang dimaksud ibadah itu? Apakah ibadah hanya sebatas shalat, puasa, haji atau yang lainnya? Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-’Ubudiyyah halaman 38 menjelaskan bahwa ibadah itu mencakup segala perkara yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala baik berupa ucapan merupakan perbuatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.

Setelah kita mengerti makna ibadah, kita wajib mengerti macam-macam ibadah secara terperinci agar kita bisa menunaikan tugas dengan baik dan benar. Dari sini timbul pertanyaan, dari mana kita bisa mengetahui secara rinci macam-macam ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala? Mampukah akal kita menyimpulkan sendiri perincian tugas ibadah itu?

Untuk mengetahui secara rinci ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala tidak bisa disimpulkan dengan akal kita, tetapi harus ada petunjuk langsung dari Allah Ta’ala yang menugaskan kita untuk beribadah kepada-Nya. Petunjuk itu bernama Al Quran dan Assunnah yang telah dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya radliyallahu ‘anhu. Singkat kata, wajib bagi kita mempelajari Al Quran dan Assunnah agar kita bisa menunaikan tugas ibadah dengan baik dan benar. Perlu diketahui, bahwa Al Quran dan Assunnah itulah yang disebut Ilmu Syar’i sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan lainnya. Lihat “Al-Ilmu Asy-Syar’i” halaman 8-10 karya Abdurrahman Abul Hasan Al-’Aizuri.

Oleh sebab itu, siapa saja yang mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya berarti ia telah menjalankan tugas ibadah dengan baik dan benar, barang siapa yang telah menunaikan tugas ibadah dengan baik, ia layak mendapat kemuliaan dan kehormatan dari Allah Ta’ala. Di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 disebutkan:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian.”

As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya halaman 846 berkata: “Di dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu syar’i, dan buah dari ilmu itu adalah beradab dan beramal atas dasar ilmu tersebut.”

Dalam hadits shahih juga ditegaskan:

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan paham agama ini.”

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah dalam Fathul Bari juz 1 halaman 222 menjelaskan : “Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun”.


Ahlus Sunnah wal Jama’ah memahami hal ini, untuk itu mereka gigih dan bersemangat untuk mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya dengan baik dan benar, mereka punya prinsip yang mantap dan mengagumkan, yakni Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal, untuk menggapai kemuliaan. Wallahul musta’an.

Prinsip Ahlusunnah yang kelima:
Meyakini bahwa Wali Allah Adalah Orang yang Beriman dan Bertakwa


Bila kita amati sejenak keadaan umat, kita akan dapati satu masalah yang sangat memasyarakat di tengah mereka. Adegan-adegan luar biasa yang membuat sebagian orang merasa kagum, ada yang tidak mempan ditusuk senjata tajam, ada yang bisa makan beling seperti makan kerupuk, ada yang tidak penyet digilas mobil, ada yang kepalanya dipenggal lalu bisa langsung sambung dan yang sejenisnya.

Anehnya para penonton yang kebanyakan umat Islam banyak yang memberi gelar kehormatan “WALI ALLAH” kepada para pendekar kebanggaan mereka. Benarkah orang-orang sakti seperti itu disebut Wali Allah? Apa sebenarnya pengertian dan ciri-ciri Wali Allah menurut Al Quran dan As-Sunnah?

Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya :

“Ingatlah, sesungguhnya Wali Allah itu tidak akan takut dan bersedih hati, mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa.” (QS. Yunus: 62)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (2/422) menjelaskan: “Allah Ta’ala menyatakan bahwa wali-Nya adalah orang beriman dan bertaqwa, maka siapa saja yang benar-benar bertaqwa maka ia layak disebut wali Allah Ta’ala”.

Di dalam Al Quran banyak disebutkan ciri-ciri Wali Allah, diantaranya adalah :

Ciri pertama: Beriman dan bertaqwa (QS. Yunus : 62)

Ciri kedua: Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (QS. Ali Imran : 31)

Ciri ketiga: Mencintai dan dicintai Allah Ta’ala karena mereka sayang kepada kaum muslimin dan tegas dihadapan orang kafir, mereka berjihad fii sabilillah dan tidak takut celaan apapun. (QS. Al-Maidah : 54)

Di dalam As-Sunnah As-Shohihah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqoq Bab At-Tawadlu’ (7/190) dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan ciri wali Allah, yaitu mereka rajin mengamalkan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan amalan wajib.

Lalu, apakah hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu termasuk ciri utama Wali Allah?

Perlu diketahui bahwa hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu ada beberapa jenis:

1. Mu’jizat, terjadi pada nabi dan rasul.

2. Irhash, terjadi pada calon nabi dan rasul.

3. Karamah, terjadi pada wali Allah selain nabi dan rasul.

4. Istidroj atau sihir, terjadi pada wali syaithon.

Dari sini dapat diketahui bahwa Wali Allah itu kadang-kadang diberi hal-hal yang luar biasa dan ini disebut karamah, namun perlu diingat bahwa karamah ini bukan ciri utama Wali Allah dan tidak bisa dipelajari. Adapun adegan-adegan luar biasa yang saat ini semarak di masyarakat lebih condong kepada istidroj atau sihir dengan beberapa alasan :

Alasan pertama, pelakunya tidak memiliki ciri-ciri Wali Allah Ta’ala.

Alasan kedua, hal-hal yang luar biasa yang mereka tampilkan bisa dipelajari, terbukti mereka punya perguruan-perguruan yang mengajarkan seperti itu.

Singkat kata, Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa Wali Allah itu adalah orang yang berimana dan bertaqwa baik mendapat karamah maupun tidak, Wallahu A’lam.

Prinsip Ahlusunnah keenam :
Mensukseskan Gerakan Tashfiyah (pemurnian) & Tarbiyah (pendidikan)


Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi dalam kitabnya Fadhlullah As-Shomad (1/17) menyatakan, ada tiga penyebab perpecahan dan kelemahan kaum muslimin saat ini. Pertama: tidak bisa membedakan antara ajaran Islam yang murni dengan ajaran yang disusupkan ke dalam Islam. Kedua: kurang yakin dengan kebenaran Islam. Ketiga: tidak mengamalkan Islam secara utuh.

Benarlah apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabatnya. Dari Abu Najih Al-’Irbadl bin Sariyah radliyallahu ‘anhu ia bercerita: “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kita, nasehat itu membuat hati bergetar: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertinya nasehat ini adalah nasehat perpisahan, untuk itu berilah kami wasiat!” Maka beliaupun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tetap mendengar dan taat (dalam hal yang baik - pent) walaupun kalian diperintah oleh penguasa dari budak Habsyi. Sesungguhnya, siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, pasti melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrosyidin yang mendapat petunjuk, peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham (jangan sampai lepas) dan jauhilah perkara-perkara baru yang disusupkan ke dalam agama karena sesungguhnya setiap perkara baru yang disusupkan ke dalam agama itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ nomor: 2546)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa penyebab perpecahan umat dan kelemahannya adalah tidak bisa membedakan antara sunnah beliau dan bid’ah yang disusupkan ke dalam ajaran agama. Disamping itu beliau juga memberikan solusinya dengan cara berpegang teguh dan mengamalkan sunnah beliau, yakni ajaran Islam yang murni.

Berangkat dari sinilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berusaha sekuat tenaga untuk mensukseskan gerakan Tashfiyah dan Tarbiyah. Lalu apa yang dimaksud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah itu?

Tashfiyah adalah gerakan pemurnian ajaran Islam dengan cara menyingkirkan segala keyakinan, ucapan maupun amalan yang bukan berasal dari Islam. Sedangkan Tarbiyah adalah usaha mendidik generasi muslim dengan ajaran Islam yang murni, yang berdasarkan Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman para Shahabat Radliyallahu ‘anhum ajma’in.

Dalam rangka mensukseskan gerakan ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah terus menerus memperingatkan umat dari segala bentuk penyimpangan baik berupa kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun kemaksiatan, di samping itu juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik yang ada di kitab-kitab yang tersebar di kalangan umat maupun pernyataan-pernyataan sesat dari para penyesat. Dan yang termasuk program ini adalah memisahkan antara hadits shahih dengan hadits dha’if, ini semua dinilai sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban kita semua.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Menyuruh umat untuk mengikuti sunnah dan melarang mereka dari kebid’ahan termasuk amar ma’ruf nahi munkar dan termasuk amal shaleh yang paling utama”. (Minhajus Sunnah: 5/253)

Semoga dengan gerakan Tashfiyah dan Tarbiyah ini, kaum muslimin sadar dan mau kembali ke agama Islam yang murni sehingga pertolongan Allah turun kepada kita. Wallahul musta’an.



Rujukan:

1. Syarh Al-Ushul As-Sittah, Asy-Syaikh Utsaimin.

2. Tanbih Dzamil Uqul As-Salimah, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri

3. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, Asy-Syaikh Abdul Malik Ramdloni.

4. At-Tashfiyyah Wat-Tarbiyyah, Asy-Syaikh Ali Hasan

5. Tafsir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di.

6. Qowaid wa Fawaid, Asy-Syaikh Nadlim Muhammad Sulthon.

7. Karamatu Auliya’illah, Al-Imam Al-Lalikai.

8. Al-Furqon Baina Auliya ‘ir rahman wa Auliya’ is syaithan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.


Sumber : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=164