Bismillah ...

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56).

“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Tauhid adalah perkara yang paling penting dalam agama Islam. Sebagai tujuan diutusnya para Rasul, serta sebagai kewajiban pertama dan terakhir bagi manusia yang berakal.

Pelanggaran terhadapnya adalah bid'ah yang paling besar sebagaiman firman Allah :

“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cinta Kepada Allah

"Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman, ....

Mereka Yang Berjatuhan Dari Dakwah Salafiyah

Namun, bagi mereka yang menghendaki agar dakwah salafiyah inilah yang berkhidmat dan menanggung mereka, lalu dicatat dan mereka ditampakkan sebagai tokoh dalam dakwah ini, hanya karena menisbatkan diri.....

Kesalahan Kesalahan Dalam Beraqidah

..Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat. ...

Menyelewengkan Makna La Ilaha Illallah, Wujud Penyimpangan Aqidah

Tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama untuk diilmui dan didakwahkan. Ia juga merupakan tugas yang paling besar,......

Surat Dari Ibu yang terkoyak hatinya

Anaku…. Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya.

Jumat, 26 Agustus 2011

Makna Penghambaan Dalam Islam

Oleh : Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Telah jelas dan gamblang bahwa Islam datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan dan perbudakan. Para ulama sering mengungkapkan tujuan datangnya Islam ini, yaitu menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang merdeka dari selainNya. Kami berharap Anda mau mejelaskan kepada kami dengan singkat arti penghambaan di dalam Islam, bagaimana pula cara seorang budak dapat bebas dari tuannya dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Sebagai tambahan, kami juga minta dijelaskan, apa hikmah diangkatnya sahabat Anas sebagai pembantu Nabi dan juga hikmah Umar mengangkat seorang anak sebagai pembantunya.


Jawaban.
Makna penghambaan atau perbudakan dalam Islam ialah tunduk dan merendahkan diri serta patuh kepada Allah, dengan mentaati perintah-perintahNya, meninggalkan larangan-laranganNya, selalu berada pada jalanNya dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya sekaligus mengharap pahala dan berhati-hati dari kemarahan serta hukumanNya.

Perbudakan dan penghambaan yang sesungguhnya (sebagaimana yang dimaksud dalam makna yang dijelaskan di atas) tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada Allah semata. Adapun perbudakan sebagaimana yang kita kenal (dalam sejarah Islam) adalah perbudakan yang muncul karena sebab tertawannya orang-orang kafir oleh kaum muslimin ketika terjadi perang yang memang disyari’atkan, (yang ini tidak termasuk perbudakan sesungguhnya).

Adapun bagaimana cara seorang budak membebaskan diri dari tuannya telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab Al-Itqu. Di antaranya, seorang budak merdeka karena dimerdekakan oleh tuannya sebagai bentuk taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah, atau dibebaskan sebagai tebusan dari tindak pembunuhan, zhihar atau yang semisalnya.

Adapun mengangkat pembantu, maka jelas dibolehkan sebagaimana diceritakan dalam hadits Anas dan hadits-hadits lainnya. Nabi mengangkat Anas sebagai pembantu adalah agar dia membantu menyelesaikan keperluan-keperluan beliau dan urusan-urusan khusus, serta agar dia bisa mengetahui adab dan akhlak beliau ( sehingga bisa meniru dan mencontohnya).

Mengangkat pembantu jelas tidak bertentangan, karena bukan penghambaan yang sesungguhnya yang memang merupakan hak Allah semata.

Semoga shalawat tercurah kepada Nabi, keluarganya dan sahabat-shabatnya.


[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/87, Fatwa no. 7150 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 2/I/Syawwal 1423H Hal. 8]


Sumber : almahnaj.or.id

Nama-Nama Dan Sifat Allah Termasuk Aqidah

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah termasuk bagian dari aqidah ? Apakah kita diwajibkan untuk memperingatkan umat dari sebagian tafsir yang telah di- takwil di-tahrif dan di-ta’thil ?

Jawaban.
Benar, (mengetahui) nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta mengimaninya adalah salah satu dari macam-macam Tauhid. Karena Tauhid terdiri dari tiga macam, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wa Sifat.

Tauhid Rububiyah maskudnya adalah mengesakan Allah Subhanhu wa Ta’ala dalam hal perbuatan-perbuatanNya, seperti dalam hal mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur makhluk. [1]

Tauhid Uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal perbuatan-perbuatan hamba ketika ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepadaNya. Jika seorang hamba beribadah sesuai dengan apa yang diinginkan syariat, ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta tidak menjadikan sekutu bagiNya dalam ibadah tersebut, maka inilah yang dinamakan Tauhid Uluhiyah.

Sedangkan Tauhid Asma wa Sifat maksudnya adalah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang Dia tetapkan untuk diriNya atau apa yang telah ditetapkan oleh RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan tahrif [2], ta’thil [3], takyif [4] dan tamstil [5]

Kita menetapkan segala nama dan sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya dan yang telah ditetapkan oleh RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

Adapun tentang tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil yang terdapat pada sebagian tafsir Al-Qur’an, maka penjelasan tentang hal itu (hanya ditujukan) kepada para pelajar (penuntut ilmu syar’i) karena apabila dijelaskan kepada orang-orang awam, mereka tidak akan dapat mengambil manfaat dari penjelasan tersebut, tentunya hal seperti ini tidak semestinya terjadi karena hanya akan menimbulkan was-was dan menyibukkan masyarakat dengan sesuatu yang tidak mereka pahami. Sebagaimana ungkapan Ali Radhiyallahu ‘anhu, “Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya” [6]

Jadi dalam menyampaikan (suatu perkara), kepada orang awam ada caranya sendiri dan kepada penuntut ilmu syar’i ada cara sendiri.

Untuk orang awam penyampaian perkara aqidah, perintah-perintah, larangan-larangan, ancaman, balasan dan pelajaran disampaikan secara mujmal (global). Diajarkan kepada mereka tentang pondasi agama seperti rukun Islam yang lima dan rukun iman. Hal-hal ini diajarkan kepada mereka dan dituntut untuk menjaganya. Sebagaimana dulu di negeri ini (negeri Haram) hingga waktu dekat ini, mereka dahulu menjaga agama mereka di masjid-masjid, menjaga rukun Islam, rukun Iman, makna dua kalimat syahadat, baik syahadat La ilaaha illallah maupun syahadat Muhammadan Rasulullah, menjaga rukun, syarat dan hal-hal yang wajib di dalam shalat juga menjaga apa-apa yang mereka butuhkan dari perkara-perkara agama.

Adapun bagi penuntut ilmu syar’i dijelaskan dan diterangkan serta diajarkan kepada mereka ta’wil (tafsir). Akan tetapi jangan sampai mencela penulis (pengarang). Seperti mengatakan, “Penulis seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat (dan sebagainya)”. Akan tetapi cukup dengan mengatakan, “Tafsir ini salah dan yang benar adalah begini atau tafsir ini adalah tafsir fulan semata atau didalamnya terdapat sifat fulan. Tanpa mencela ulamanya, membid’ahkannya atau mencela kepribadiannya.

Karena hal ini tidaklah mendatangkan manfaat bagi masyarakat, bahkan akan mengakibatkan para penuntut ilmu syar’i akan menjauhi para ulama dan berburuk sangka terhadap mereka. Karena tujuan sesungguhnya hanyalah memperbaiki kesalahan, itu saja. Bukan mencela seseorang dengan perkataan ‘pelaku bid’ah, bodoh dan sesat. Yang seperti ini tidaklah mendatangkan manfaat sama sekali. Bahkan akan menimbulkan pertentangan, buruk sangka kepada ulama, mengakibatkan perseteruan pemikiran dan ikut campur di dalam membeberkan (mengorek aib) para ulama, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Ini tidaklah mendatangkan kebaikan.

Menjelaskan kebenaran hendaklah kepada mereka yang mampu untuk memahaminya, seperti para pelajar penuntut ilmu syar’i. Sementara orang awam yang tidak mampu memahaminya serta tidak dapat menanggkapnya cukup dijelaskan kepada mereka perkara-perkara yang amat mereka butuhkan, dari perkara-perkara agama, ibadah, shalat, zakat serta puasa. Yang terpenting adalah permasalahan aqidah secara sederhana agar dapat mengambil manfaat darinya. Jangan bertele-tele sehingga memberatkan mereka dan membuat mereka jenuh, semestinya dengan cara sederhana.

[Al-Muntaqa min Fataawaa Syaikh Shalih bin Fauzan III/17-19]

[Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan III/17-19 Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 4/I/Dzulhijjah 1423H]
_________
Foote Note.
[1] Maksudnya hanya Dialah yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut tanpa yang lain.
[2] Tahrif yaitu menyimpangkan makna atai sifat Allah dari yang sebenarnya tanpa dalil.
[3] Ta’thil yaitu meniadakan atau menolak adanya nama-nama atau sifat-sifat Allah, sebagian atau secara keseluruhan.
[4] Takyif adalah menentukan hakikat tertentu dari sifat-sifat Allah.
[5] Tamtsil yaitu menyamakan atau menyerupakan nama atau sifat Allah dengan nama atau sifat makhlukNya.
[6] Disebutkan oleh Bukhari di dalam shahihnya 1/41 dari Ali Radhiyallahu ‘anhu


Sumber : almanhaj.or.id

Tanya Jawab Tentang Dimanakah Allah

Hukum Mengatakan Allah Ada Dimana-mana

Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci

***PERBUATAN SYIRIK & KUFUR***



1. Mengatakan Allah Ada dimana-mana

SOAL:

Dalam sebuah siaran radio ditampilakan kisah dengan menggunakan kata-kata:”Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya,maka sang ayah menjawab:”Allah itu ada dimana-mana.”Bagaimana pandangan hukum agama yterhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?

JAWAB:

Jawaban ini batil,merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah[1] dan Mu’tazilah[2] serta aliran lain yang sejaan dengan mereka[3]. Jawaban yang benar adalah yang di-ikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah,yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya .Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A’raf:54]


Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat.Yang dimaksud dengan BERSEMAYAM menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu,seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:

"Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.Mengimana hal ini adalah wajib,tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”

Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan CARA Allah bersemayam diatas Arsy.Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya.Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya:
 

Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya [Surat Faathir:10]

…Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Al Baqarah:255]

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku [Surat Al Mulk:16-17]

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas.Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu bid’ah :”Allah itu berada dimana-mana,” merupakan hal yang sangat batil.Perkataan ini merupakan pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah,suatu aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit, sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :

Alaa ta’manuniy wa anaa amiinu man fis samaa’

“Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.”

[Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ;Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]

Hal ini juga disebutkan pada hadits-hadits (tentang) Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.



Syaikh Bin Baz

Majallatuud Dakwah no.1288

Catatan kaki (tambahan-ap):

[1] Jahmiyyah adalah salah satu firqoh ahlul bid’ah besar yang sesat dan menyesatkan.Yakni pengikut Jahm bin Shafwan.

¨ Berkata Adz Dzahabi di Mizaanul I’tidal (I/426) :”Jahm bin Shafwan seorang sesat mubtadi’ (ahlul bid’ah) ketuanya Jahmiyyah.Dia binasa (mati) pada zaman tabi’in kecil.Dan aku tidak mengetahui bahwa dia meriwayatkan sesuatu (hadits) akan tetapi ia menumbuhkan kejahatan yang besar sekali."

¨ Diterangkan oleh para ulama bahwa Jahm bin Shafwan mengambil fahamnya yang sesat dari Ja’ad bin Dirham.[Mu’jamul Bida’ hal 167-168 dan 440-441; Mauqif Ahlus Sunnah wal jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ juz I hal 153-156] .Sedangkan Ja’ad bin Dirham mengambil dari Abaan bin Sam’aan.dan Aban sendiri mengambil dari Thaalut,dan Thaalut mengambil dari Labib bin Al A’sham seorang Yahudi penyihir yang pernah menyihir Nabi Shalallahu alaihi wa sallam .

¨ Ja’ad bin Dirham adalah pertama orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu mahluk, Allah tidak bersemayam di atas Asy –yang sesuai dengan kebesaran dan kemulia-anNya- secara hakiki dan menta’wil (menyelewengkan makna) istiwaa’ (bersemayam) dengan istaula (menguasai) ..[Mu’jamul bida’ hal 112-113]. Paham Ja’ad bin Dirham ini kemudian di-ikuti oleh Mu’tazilah dll yang dahulu dan sekarang sampai hari ini sepaham dengan Ja'’d bin Dirham.

[lihat.Risalah Bi’ah, ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat ; hal 110-111]


[2] Mu’tazilah adalah salah satu firqoh ahlul bid’ah besar yang sesat dan menyesatkan.Dinisbatkan kepada Washil bin Atha -seorang murid dari Imam Hasan Al Basri- yang I’tizal (keluar memisahkan diri) dan nyeleneh dalam fatwanya tentang keimanan.

¨ Dinamakan juga qadariyah meskipun ada perbedaan dengan firqah qadariyah yang asli.Qadariyah yang dikafirkan para ulama mereka mengingkari ilmu Allah,sedangkan umumnya Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu Allah,akan tetapi menetapkan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba.Bisa disebut Mu’tazilah ahIi waris qadariyah.

¨ Bersama sejalan dengan Jahmiyyah dalam keyakinan Al Qur’an Makhluk, Allah dimana-mana.

¨ Mempunyai 5 ushul sesat: 1.Al Adhlu (adil=menafikan qadar Allah), 2.At Tauhid (=menafikan sifat-sifat Allah),n 3.Al Wa’du (Janji= wajib bagi Allah memberikan ganjaran kepada orang ta’at), 4.Al Wa’id (ancaman=wajib bagi Allah menyiksa /mengazab bagi pelaku maksiat, yakni tidak boleh bagi Allah-menurut mereka- memaafkan atau mengampuni pelaku dosa besar tanpa taubat), 5.Manzilatun baina manzilatain (Berada disatu tempat antara 2 tempat= mukmin pelaku dosa besar dia fasik,tidak kafir tidak mukmin tetapi antara kafir dan iman)

¨ Keyakinan Allah tidak dapat dilihat oleh orang mukmin dengan mata mereka di akhirat.

¨ Mengingkasri syafa’at Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bagi umatnya pelaku dosa besar.

¨ Mukmin pelaku dosa besar kekal di neraka.

¨ Amar ma’ruf nahi mungkar.Yakni memberontak terhadap penguasa yang zalim

¨ Mendahulukan akal daripada wahyu,dll

[lihat.Risalah Bi’ah, ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat ; hal 108-110; Mauqif Ahlus Sunnah hal 148-151 (edisi Indonesia hal 83-88);Diratul Firaq ,hal 123-154]

[3] Tentang pengingkaran istawa (bersemayam) Allah di atas Arsy dan mena’wilkan dengan istaula (menguasai) diadopsi juga oleh firqoh Asy-ariyyah dan Maturidiyyah, selain menakwilkan sifat-sifat Allah yang lainnya.Bahkan lucunya anggapan mereka ini (istawa diubah jadi istaula) disebut aqidah ahlus sunnah wal jama’ah ,seperti gembong pengekor dusta -Sirajudin Abbas- dalam bukunya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” yang lebih pantes disebut buku aqidah Asy-ariyyah-Maturidiyyah.


Lihat: kedustaan Sirajudin Abbas ini terhadap ulama Ahlus Sunnah dan membongkar kebohongannya dalam Majalah Assunnah edisi 12/tahun V/1422H/2001M dan edisi setelahnya.

Juga postingan dengan judul:Ibnu Taimiyyah,Ibnu Bathuthah,sirajudiin abbas & Maunya membela Aa gym (eh) malah nonjok , di milis assunnah@yahoogroups.com



Perhatian:

Kaum ahlul bid’ah dari mu’tazilah,jahmiyah,asy’ariyyah dan maturidiyyah dan lain-lain menuduh dengan kebohongan yang besar kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai musyabbihah (faham bid’ah yang kufur yang menyerupakan Allah dengan mahlukNya) !! Disebabkan Ahlus Sunnah telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah tanpa tahrif (penyelewengan), tanpa tathil (penolakan), tanpa tamstil/tasybih (permisalan/penyerupaan) dan tanpa takyif (bertanya kenapa) , seperti (sifat) Istiwa-Nya (bersemayam) Allah diatas Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan ketinggianNya [Mu’jamul Bida’ hal 296 & 476 ,dan seterusnya]


SOAL

Bagaimana pandangan hukum terhadap jawaban sebagian orang:”Allah berada dimana-mana,” bila ditanya :”Dimana Allah?” Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?


JAWAB

Jawaban seperti ini sepenuhnya batil.Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya:”Di langit.”

Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan.Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana ,adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama,bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta fitrah.Allah berada diatas segala mahluk.Dia berada diatas semua langit,bersemayam diatas Arsy.


Syaikh Ibnu Utsaimin

Majmu’ Fatawaa wa Rasaail ,juz 1 halaman 132-133



Judul Asli : Al Fatawaa Asy Syar’iyyah Fil Masaail Al ‘Ashriyyah min

Fatawaa Ulamaa’ Al Balaadil Haraami

Penyusun Khalid al Juraisy

Edisi Indonesia: Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci

Tauhid- Syirik - & Bid’ah

Penerjemah :Usta. Muhammad Thalib

Penerbit :Media Hidayah ,cet.1 September 2003

Sumber : almanhaj.or.id


Mengaku Muslim Tapi Mengerjakan Maksiat

Oleh :Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Jika seorang laki-laki meninggal dunia dengan memiliki lima istri atau lebih, apakah dia seorang muslim sehingga kami boleh menyalatkannya ? Hal ini berkenan dengan firman Allah Azza wa Jalla yang telah kami ketahui.

“Artinya : Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain ? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia ….” [Al-Baqarah : 85]


Jawaban.
Tidak tertanam keimanan pada diri orang yang mengucapkan kalimat ‘Lailaha illallah’, kecuali jika dia mengucapkannya secara ikhlas dari hatinya. Dan tidaklah berarti ucapannya itu di sisi Allah, melainkan dengan cara seperti itu pula. Adapun di dunia, maka orang yang mengucapkannya diperlakukan dengan pergaulan Islam tanpa kecuali, sekalipun sebenarnya dia tidak ikhlas mengucapkannya. Hal itu karena kita hanya menghukumi apa yang tampak. Allah-lah yang mengurusi apa yang tersembunyi.

Jika ada yang mengucapkan kalimat tersebut kemudian mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan kandungannya, maka dia kfir. Seperti orang yang menghalalkan sesuatu yang sudah diketahui keharamannya menurut agama ini, contohnya menghalalkan zina atau menikahi mahramnya. Termasuk pula membatalkan syahadat adalah meninggalkan shalat secara sengaja setelah disampaikan dan dijelaskan (kewajibannya), menurut pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat para ulama (tentang hal itu). Dan di antaranya juga menggantung (memakai) rajah-rajah dan jimat-jimat dari selain Al-Qur’an dengan meyakini pengaruhnya.. Adapun jika berkeyakinan bahwa benda-benda itu merupakan sebab bagi kesembuhan-nya atau dapat menjaganya dari gangguan jin dan ‘ain, maka hukumnya haram meski tidak membatalkan ke-Islaman tetapi termasuk jenis syirik kecil sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang menggantung jimat, maka Allah tidak akan menyempurnakannya, dan barangsiapa yang menggantung wada’ah, maka Allah tidak akan memberinya ketenangan” [Shahih Ibnu Hibban XIII/450]

Adapun tentang menggantung tamimah (jimat) dari Al-Qur’an, maka ulama berselisih pendapat tentang kebolehannya. Pendapat yang lebih kuat adalah yang mengharamkannya berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada, dan juga untuk menutup peluang menggantung (jimat) yang selain dari Al-Qur’an. Dan termasuk pembatal-pembatal ke-Islaman adalah istighatsah kepada orang mati, berhala dan benda-benda mati lainnya, atau kepada yang tidak hadir (tidak bersamnaya) –baik jin ataupun manusia-, atau ber-istighatsah kepada sesuatu yang hidup lagi hadir dalam hal-hal yang tidak ada yang mampu memenuhinya kecuali Allah Subhanhu wa Ta’ala, dan perbuatan-perbuatan sejenisnya.

Semoga shalawat tercurah kepada Nabi, keluarganya dan sahabat-shabatnya.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/98, Fatwa no. 5318 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H Hal. 8]

Sumber : almanhaj.or.id


Kamis, 25 Agustus 2011

bisa jadi ini hariku yang terakhir ....

source : mujtahid09.student.ipb.ac.id
aduhai diriku ...
bisa jadi ini adalah ramadhan terakhir yang mendatangimu..
bahkan bisa jadi hidupmu tidak akan sampai di penghujung bulan ini...
maka aku nasihatkan kepadamu ..
duhai diriku... :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [An Nuur : 31].


sebagaimana sabda Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

“Demi Allah sesungguhnya Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali” (HR. Al Bukhari :6307)

lihatlah reportase dirimu duhai diri...
apakah telah senantiasa engkau melangkah dalam titian jejak para salafus shalih...
lihatlah,,
lihatlah kembali duhai diri....

kemarin engkau adalah si kecil yang menangis pilu saat keinginanmu tak terpenuhi,
dan kini,, engkau adalah seorang yang dipundakmu bergelayut bocah bocah lugu...
apakah hak mereka telah engkau penuhi?

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; .." [At Tahriim : 6]

kemarin pagi, engkau dapati ayahandamu mengayuh sepeda demi dirimu,
kini engkau saksikan sepeda dan pengendaranya telah sama rentanya,,
apakah engkau telah membaktikan diri kepadanya ?

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."[Al Ahqaaf : 15]

kenanglah wahai diriku...
mereka yang engkau cintai dan telah kembali kepada Rabb-nya...
tidakkah menjadi sebuah pelajaran bagimu...
: bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan ???

"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)." [Az Zumar : 30]

lalu mengapakah engkau masih mempertahankan kesombonganmu!!!
tidakkah engkau merindukan ampunan Rabb-mu,
tidakkah engkau takut akan siksa-Nya di hari yang besar jika engkau durhaka kepada-Nya?

"Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah." [Al Infithaar : 6]

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku." [Az Zumar : 13]

sampai kapankah engkau akan terlena dengan maksiatmu,,
atau, barangkali engkau memang telah buta!!!

"Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran." [Al Mu'min : 58]
aduhai diri...
selamatkanlah dirimu dari akibat buruk perbuatan-perbuatanmu...
dengarlah betapa agung firman Rabb-mu :

Hai orang-orang yang beriman bertaubatah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya” (At Tahrim :8)

“Hamba-hamba-Ku yang melampai batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah , sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Az Zumar : 53)

“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti dari kekafiran-nya niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (Al Anfal :38)

“Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An Nisa : 110)

“Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” (As Syura :25).

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al baqarah : 222)

maka jika di hatimu masih terdapat iman,,
niscaya akan hadir di jiwamu..
betapa kerdil dan hinanya engkau,
betapa hanya Dia yang dapat menghapus noda jiwamu
dan betapa penyayangnya Allah yang tidak ada illah yang berhak disembah selain Dia...


karenanya dengarlah wahai diri ...

:
bisa jadi hari ini merupakan hari terakhir sebelum ajal mendatangimu,
bisa jadi ini adalah ramadhan terakhirmu..
maka bertaubatlah duhai diriku...
dengan semurni murninya taubat
bersegeralah kepada ampunan Rabb-mu
sebelum nafasmu berada diujung kerongkonganmu,,
sebelum penyesalanmu tiada dapat menolongmu..
---
Posted by : Harsoyo As-Saalik
di padang taubatan nasuha, 6 Ramadhan 1432 H


sebelum pintu ma'af-Nya tidak lagi terbuka untukmu...

wahai diriku...
jika kamu akan binasa dan kelak pasti akan binasa......
maka mengapakah lisanmu masih berbicara yang buruk untuk orang lain yang engkau sendiri tak memahami urusannya...

duhai diri...
berlaku baiklah niscaya dirimu akan diperlakukan baik..
hargai orang lain, agar engkau diperlakukan serupa....
jagalah lidah dan kemaluanmu..agar keduanya tidak menyebabkan engkau disiksa nanti !!!

dan mereka yang engkau caci kelak saat dhadapan Robbuna akan menyeru kepadamu :
"wahai FULAN... sesungguhnya aku tak pernah begini dan begitu, maka marilah kita putuskan dihadapan AL-HAKIM .."
maka tatkala itu fitnah baginya, amalmu lah yang akan diambilnya....
seberapa banyakkah amalmu sampai engkau mempersiapkan diri agar diambil oleh orang yang engkau fitnah ???

maka dengarlah..
wahai jiwa yang menzalimi dirinya sendiri...
menangislah engkau dengan rasa takut dan harap...
takutlah engkau akan siksa Rabb-mu yang pedih,
yang tidak pernah terbetik dalam rasamu...
agar ada harapan padamu atas ampunan-Nya...

ingatlah wahai diri...
bangkrut didunia itu ringan, masih banyak yang akan memberi pinjaman...
tapi kebangkrutanmu di hari yang kekal nanti , siapakah yang akan memberimu kebaikan????

aduhai diri yang mengeras...
sesungguhnya jasadmu rapuh sama sekali tak sekeras gada dari para malaikat penanya kubur !!!
mulutmu akan dirayapi belatung yang semasa hidup engkau jijik terhadapnya...
ragamu akan segera mengering,
hancur dilubangi semut dan hewan tanah yang semasa hidup sering kau injak,
saat itu ... saat mereka mengoyak matamu,
masuk kelubang dubur dan hidungmu,
menghancurkan lidah burukmu,
tangan busukmu yang semasa hidup engkau gunakan menulis fitnah... dan berbagai keburukan lainnya,
engkau tinggal seonggok daging yang tengah menuju kehancuran...
engkau sama sekali tak kan mampu mencegah hewan-hewan kecil itu !!!

dimana kegagahanmu??
dimana kesombongan mu kau tegakkan disana??
dimana lidah tajammu yang sering kau goreskan melalui pena-pena media mu,
engkau terbungkam,
engkau membisu,
hatimu menjerit, tapi siapakah yang peduli padamu??
bahkan amal buruk mu yang buruk akan senantiasa menemanimu...

maka dengarlah wahai diri....
dengarlah...
selagi engkau masih mampu membaca tulisan ini...
sebelum kain kafan membungkusmu...
sebelum jasadmu hancur dan membusuk dihimpit liang kubur...
sebelum rasa sesalmu tiada lagi berguna...

: kembalilah wahai diri...
basuhlah kekotoran jiwamu dengan air mata taubat..
semikanlah tunas tunas cintamu hanya untuk Allah dan Rasul-Nya...
dan siramilah ia dengan mata air yang senantiasa digunakan oleh segolongan umat-Nya yang DIA selamatkan...

sebelum pintu ma'af-Nya tidak lagi terbuka untukmu...
ingatlah diri,, sesalmu dihari itu tiada lagi berguna ...

Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan." Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.[An Najm:32]

---
(ya Rabb..dengan Kemuliaan-Mu...
sesungguhnya hamba-Mu yang Engkau mencintainya,
dan ia-pun mencintai-Mu didunia ini sangatlah banyak...

tetapi diri hamba ini yaa Rabb..
tetapi diri hamba ini..
...
yang aku miliki hanyalah Engkau...
hanya Engkau ya Rabb..
...
kepada siapakah aku akan mengadukan kegelisahan jiwaku..agar diobati,,,
jika bukan kepada Engkau..
...
kepada siapakah aku akan berlari..
jika bukan kepada-Mu...
...
kepada siapakah aku akan meminta belas kasih atas buruknya amalku..
jika bukan kepada-Mu..
...
hamba mohon ampunilah dosaku yang hina dina ini...
hapuskanlah kesalahan kesalahanku..
karena sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat..)

-----
diambil dengan sedikit perubahan dari posting Abah Abu Iram Al-Atsary di KBSI;
dan ceramah Ustadz Armen Halim Naro rahimahullahu
-----
reposted by : Harsoyo As-Saalik
di padang taubatan nasuha, 13 Ramadhan 1432 H



Aqidah Shohihah Versus Aqidah Bathilah (Bagian Keempat-Selesai)

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

source : palupisunarwati.blogspot.com
Iman Kepada Para Malikat

Iman Kepada para malikat mengandung makna keyakinan bahwa Allah mempunyai malaikat-malaikat yang diciptakan untuk menaati perintah-perintah-Nya. Para malaikat itu disifati sebagai hamba-hamba yang dimulyakan yang senantaisa melaksanakan perintah:

Allah berfirman:
“Allah mengetahui apa yang ada di hadapan mereka (malaikat) dan yang dibelakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (Al Anbiya : 28)

Para malaikat itu terdirti dari banyak kelompok, diantaranya ada yang diperintahkan untuk mengangkat ‘Arsy, menajga surga, menjaga nereka, mencatat amal perbuatan manusia, dan lain-lainya.

Seorang muslim juga harus mengimani malaikat-malaikat yang nama-namanya diperkenankan Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu diantaranya: Jibril, Mikail, Malik yang menjaga nereka, serta Israfil yang bertugas meniup sangkakala.

Berita-berita mengenai para malaikat tersebut juga terdapat dalam banyak hadits shahih, diantaranya adalah hadits dari Aisyah Radhiallaahu anha yang menyatakan bahwa Nabi telah bersabda:
" خُلِقَتِ المَلاَ ئِكَةُ مِنْ نُوْرٍوَخُلِقْاَلجْاَنُّ مِنْ مَا رِ جٍ مِنْ نَـارِ وَخُلِقَ اَ‍دَمُ ِممَّا وصِفَ لَكُمْ "
“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, dan jin diciptakan dari percikan api, sementara adam diciptakan dari apa yang sudah kamu kenal.” (HR. Muslim)



Hal-hal yang Membatalkan KeIslaman

Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk masuk ke dalam Dinul Islam dan berpegang teguh dengannya, serta mewaspadai segala sesuatu yang akan menyim-pangkan mereka dari din yang suci ini. Dia mengutus nabi-Nya, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, dengan amanat da’wah yang suci dan mulia. Allah juga telah mengingatkan hamba-Nya, bahwa barangsiapa yang mengikuti seruan para rasul itu, maka dia telah mendapatkan hidayah; dan siapa yang berpaling dari seruannya, maka ia telah teresat.

Di dalam Kitabullah, Dia mengingatkan manusia tentang perkara-perkara yang menjadi sebab “riddah’ (Murtad dari Dinul Isalm) dan perkara-perkara yang termasuk kemusyrikan dan kekafiran. Beberapa ulama rahimahumullah selanjutnya menyebutkan peringatan-peringatan Allah itu dalam kitab-kitab mereka. Mereka mengingatkan bahwa se-sungguhnya seorang muslim dapat dainggap murtad dari Dinul Islam disebabkan beberapa hal yang bertentangan, sehingga menjadi halal darah dan hartanya. Di-antara sekian banyak hal yang dapat membatalkan keis-laman seseorang, Sayikh Al Imam Muhammad bin Ab-dul Wahab, serta beberapa ulama lainya menyebutkan sepuluh hal yang paling banyak dilakukan oleh ummat Islam. Dengan menharap keselamatan dan kesejahteraan dari-Nya, kami paparkan dengan ringan sebagai berikut:
  • Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah. Dalam kaitan ini, Allah berfirman:
    “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya dan mengampuni selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki…” (An Nisa : 116)
    “Sesungguhnya siapa saja yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” (Al Maidah : 72)
    termasuk dalam hal ini, permohonan pertolongan dan permohonan doa kepada orang mati serta ber-nadzar dan menyembelih qurban untuk mereka.
  • Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara doa, permohonan syafaat, serta sikap tawakkal mereka kepada Allah.
  • Menolak untuk mengkafirkan orang-orang musyrik, atau menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan madzab mereka.
  • Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi Muhammad lebih sempurna dan lebih baik. Menganggap suatu hukum atau undang-undang lainya lebih baik dibandingkan syariat Rasulullah, serta lebih mengutamakan hukum thaghut diban-dingkan ketetapan Rasulullah.
  • Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah, meskipun diamalkannya. Dalam hal ini Allah berfirman:
    “Demikian itu karena sesungguhnya mereka benci terhadap apa yang diturunkan Allah, maka Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad : 9)
  • Mengolok-olok sebagian dari Din yang dibawa Rasulullah, misalnya tentang pahala atau balasan yang akan diterima. Allah berfirman:
    “….Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (At Tuabah 65-66)
  • Masalah sihir. Diantara bentuk sihir adalah “ash shorf” (pengalihan), yaitu mengubah perasaan seseorang laki-laki menjadi benci kepada isterinya. Sedangkan “al ‘athaf” adalah sebaliknya, mejadikan orang senang terhadap apa yang sebelumnya dia benci dengan bantuan syaitan.
    Orang yang melaukan kegiatan sihir hukumnya kafir. Sebagai dalilnya adalah firamn Allah, yang artinya:
    “…Dan keduanya tidak mengajarkan sihir kepada seseorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir’…” (Al Baqarah: 102)
  • Mengutamakan orang kafir serta memberikan per-tolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada kaum muslimin. Allah berfirman, yang artinya:
    “…Barangsiapa di antara kamu,mengambil mereka orang-orang musyrik menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka,. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dzalim.” (Al Maidah : 51)
  • Beranggapan bahwa manusai bisa leluasa keluar dari sayriat Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam . Dalamkaitan ini Allah berfirman:
    “Barangsiapa yang mencari agama selain Dinul Islam, maka dia tidak diterima amal prbuatan-nya, sedang dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
  • Berpaling dari Dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamal-kannya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
    “Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungughnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As Sajadah: 22)
Itulah sepuluh naqidhah yang perlu diwaspadai oleh setiap muslaim, agar ia tidak terjerumus untuk melakukan salah satu diantara kesepuluh sebab yang dapat mengeluarkannya dari Dinul Islam. Begitu seseorang meyakini bahwa undang-undang yang dibuat manusia lebih utama dan lebih baik dibandingkan syariat Islam, maka ia telah kafir. Demikian juga jika ia menganggap bahwa ketentuan-ketantuan Islam sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman mutakhir ini, atau bahkan beranggapan bahwa aturan Islam adalah penye-bab kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam. Seseorang juga tergolong kafir bila beranggapan bahwa Dinul Islam hanya menyangkut hubungan ritual antara hamba dan Rabbnya, tetapi tidak ada kaitanya dengan ,masalah-masalah duniawi.

Demikan juga jika seseorang memegang bahwa pelaksanaan syariat Islam,misalnya hukum potong tan-gan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina muhson (pezina yang sudah kawin) tidak sesuai dengan perad-aban modern, begitu pula halnya dengan seseorang yang beranggapan bahwa seseorang boleh tidak berhu-kum dengan syariat Allah dalam hal muamalat (ke-masyarakatan), hudud, serta dalam hukum-hukum lainya. Ia telah jatuh kepada kekafiran, meskipun ia be-lum sampai pada keyakinan bahwa hukum yang dianutnya lebih utama dari hukum Islam, karena boleh jadi ia telah menghalalkan apa yng diharamkan Allah, dengan dalih keterpakasaan, seperti berzina (karena alasan mencari nafkah), minum khamr, riba, dan berhukum dengan hukum rekaan manusia.

Marilah kita berlindung kepada Allah dari hal-hal yang menyebabkan kemurkaan-Nya dan dari adzab-Nya yang pedih. Shalawat dan salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada sebaik-baiknya makhluk-Nya, Muhammad Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.
---


Sumber : www.alsofwah.or.id

Aqidah Shohihah Versus Aqidah Bathilah (Bagian Ketiga)

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

source : abuhalim.wordpress.com
Iman Kepada Hari Akhir

Iman kepada hari akhir mencakup keimanan terhadap segala apa yang diberitakan Allah dan rasul-Nya yang berkaitan dengan hari akhir, misalnya berita tentang apa yang akan terjadi setelah datangnya kematian, seperti mengenai fitnah kubur, adzab atau nikmatnya.

Iman kepada hari akhir juga meliputi keyakinan kepada berita-berita mengenai apa yang terjadi setelah hari kiamat, misalnya mengenai ash shirat al mustaqim, mizan, hisab, pembalasan, dan pemberian catatan amal perbuatan manusia semasa hidup di dunia yang diterima manusia dengan tangan kanan, tangan kiri, atau dari balik punggung.

Keimanan pada hari akhir juga meliputi keyakinan terhadap adanya telaga untuk Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, keyakinan bahwa orang mukminin akan melihat Allah secara langsung dan bercakap-cakap dengan-Nya, keyakinan tentang surga dan neraka, serta hal-hal lain sepanjang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam kita wajib meyakini dan membenarkan dengan sepenuh hati semua berita itu.


Iman Kepada Qadar (Takdir)

Iman kepada qadar meliputi empat perkara:
  • Keyakinan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang telah dan akan terjadi. Allah mengetahui segala keadaan hamba-hamba-Nya. Allah mengetahui rezeki, ajal, dan amal perbuatan mereka. Segala urusan dan gerak mereka tidak pernah luput dari pengawasan-Nya. Allah berfirman:
    “Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al Ankabut : 62)

    Firman Allah, yang artinya:
    “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, dan seprti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath Thalaq : 12)
  • Keyakinan akan adanya catatan Allah tentang apa yang telah ditaqdirkan dan telah duputuskan-Nya Allah berfirman:
    “Sesunguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi dan tubuh-tubuh mereka dan pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara (mencatat).” (Qaaf : 4)

    Firman Allah, yang artinya:
    “…Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam ki-tab induk yang nyata (Lauh Mahfuz).” (Yaasin: 12)
    “Apakah kamu tidak tahu bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan di bumi. Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Laul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj : 70)
  • Keyakinan bahwa kehendak-Nya tidak dapat diganggu gugat. Jika Allah berkehendak, maka jadilah. Dan jika Allah tidak berkhendak maka tak akan ter-jadi. Allah berfiram, yang artinya:
    “…Sesungguhnya Allah berbuat atas segala yang Dia kehendaki.” (Al Hajj : 18)
    “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia me-nghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah.’ Maka jadilah dia.” (Yaasin : 82)

    Firman Allah, yang artinya:
    “Dan tidaklah kamu berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.” (Al Insan : 30)
  • Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta seluruh yang ada; tidak ada pencipta selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia. Allah berfirman:
    “Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia atas segala sesuatu itu bagi Pemelihara.” (Az Zumar : 62)
    “Wahai manusia, ingatlah terhadp nikmat Allah yang telah diberikan kepada kamu sekalian; lalu adakah pencipta selain Allah yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Ilah selain Dia, lalu mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (Faathir : 3)
Itulah perinsip-perinsip keimanan sebagaimana yang diyakini Ahlussunnah wal Jama’ah, yan meliputi enam perinsip keimanan, yang lazim disebut dengan Rukun Iman. Suatu pemahaman yang berbeda sekali dengan pendngan-pendangan ahlus bid’ah.

Menurut aqidah Ahlussunnah, iman kepada Allah juga mencakup keyakinan bahwa iman itu adalah pern-yataan yag disertai dengan amalan. Iman dapat bertam-bah manakala seseorang meningkatkan ketaatannya kepada Allah, dan dapat berkurang bila seseorang ber-maksiat kepada Allah. Seorang muslim tidak boleh me-lakukan “takfir’ (mengkafirkan) seorang muslim lainya yang berbuat dosa, selain dosa syirik. Dosa-dosa seperti zina, mencuri, makan riba, meminum minuman yang memabukkan, mendurhakai orang tua, serta dosa-dosa besar lainya tidak menyebabkan seorang jatuh kepada kekafiran selama tidak menghalalkannya. Allah berfir-man:
“Sesunguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan Dia dengan sesuatu, dan men-gampuni dosa selain itu bagi orang yang Dia ke-hendaki…” (An Nisa : 116)

Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda bahwa:
أَنَّ اللهَ يخُرِْ جُ مِنَ النَّا رِمَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِشْقَالُ خَرْدَ لـٍر مِنْ إِ ْيمَانٍ
“Sesungguhnya Allah mengeluarkan dari nereka siap asaja yang di hatinya msaih terdapat keimanan, walaupun itu hanya sebesar biji sawi.”

Mencintai, membanci, memihak, dan memusuhi karena Allah, adalah termasuk bagian dari iman kepada Allah. Seorang mukmin hendaknya mencintai seorang mukmin lainya, memihak dan setia kepadanya, dan pada saat bersamaan, membenci dan memusuhi orang-orang kafir.

Kaum mukminin yang terutama dari ummat ini, adalah para sahabat Rasulullah yang setia,. Maka Ahlussunnah wal Jama’ah pun menyintai dan menyata-kan loyalitasnya kepada mereka, serta meyakini bahwa para sahabat adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi. Keyakinan ini antara lain dilandasi oleh hadits Nabi:
"خَيْرُ اْلقُرُوْنِ قَرْيِنْ شُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ شُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْ نَحُمْ "
“Sebaik-baik masa adalah masaku ini, kemudian orang-orang selanjutnya (tabi’in), lalu menyusul orang-orang yang selanjutnya (tabiut tabi’in).” (Hadits Muttafaq alaih)

Ahlussunnah juga menegaskan bahwa Abu Bakar Ash Siddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzun Nurain (Pemilik dua cahaya), dan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat-sahabat utama Rasulullah yang diridlai Allah. Kemudian setelah empat sahabat itu, sahabat utama Rasulullah adalah sisa sepuluh orang yang telah di beri kabar gembira dengan jaminan surga. Setelah itu adalah para sahabat lainya yang semuanya telah memeproleh ridla Allah. Kita wajib menahan diri dari apa yang mereka perselisihkan diantara para sahabat itu, dengan keyakinan bahwa mereka adalah para ahli ijtihad (mujtahid). Bagi yang benar akan mendapat dua pahala, sedang bagi yang salah ijtihadnya akan mendapatkan suatu pahala. Para sahabat menyintai Rasulullah dan ahlul baitnya. Merka menghormati para isteri Rasulullah dan ridla atas mereka semua.

Ahlussunah wal Jama’ah berlepas diri dari “Thariqatur rawafidh”, yaitu orang-orang yang membenci dan mencela sejumlah sahabat, namun menjunjung terlalu tinggi ahlul bait, sehingga mereka menganggap kedudukan ahlul bait melebihi para nabi dan bahkan sepadan dengan kedudukan Allah. Sebagaimana Ahlussunnah juga berlepas diri dari “Thariqatun Nawasib”, yakni orang-orang yang membenci ahlus bait, baik yang menyatakan kebencian itu dengan pernyataan-pernyataan ataupun dengan perbuatannya.

Aqidah shahihah yang diamanatkan kepada Rasulullah, sebagaiman dijelaskan dalam risalah ini adalah aqidah Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) Ahlus Sunah wal Jama’ah. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda:
" لاَ تَزَ الُـ طَا ئِفَةُْ مِنْ اُمَّتِي عَلَ اْلحَقِّ مَنْصُوْرَةً لاَ يَضُرُّ هُمْ مَنْ خَذَ لَهُمْ حَتَّى يَأْ تَيِ اَ مْرُ اللهِ سُبْجَا نَرُ "
“Akan tetapi ada segolongan dari ummatku tegak di atas dasar kebenaran, dan mendapat pertolonan Allah tak menghiraukan orang yang mengecewakan mereka sampai akhirnya datang perintah dari Allah Subhannahu wa Ta'ala .”

Masih dalam masalah yang sama, Rasulullah bersabda:
" اِقْتَرَ قَتِ اْليَهُوْدُعَلَ اِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَافْتَرَ قَتِ النَّصَا رَحَ عَلَ اشْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَسَتَفْتَرِقُ هَذِه اِلآُامَّةُ عَلَ ثَلاَ ثٍ وَسَبْحِيْنَ فِرْ قَتً،كُلُّهَافىِ الَنَّارِ،اِلاَّوَاحِدَةً، فَقَالَ الصَّحَابَتُ : مَنْ هِيَ يَارَسُوْ لَ اللهِ ؟ قَالَ: مَنْ كَانَ عَلَ مِثْلِ مَاأَنَاعَلَيْهِ وَاصَحْحَابِىْ "
“Telah terpecah belah golongan Yahudi menjadi 71 golongan Nashrani terpecah menajdi 72 golongan. Sementara ummat ini (ummat Islam) akan terpecah menajdi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu saja.” Para sahabat bertanya, “siap golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Siapa saja yang ber-i’tiqad seperti aku dan para sahabatku.”

Golongan yang dimaskud oleh Rasulullah adalah golongan yang berpegang teguh dan ber-istiqamah terhadap aqidah Rasulullah dan para shabatnya. Adapun orang-orang yang menyembah berhala, menyembah malaikat, aulia, jin, pohon-pohon, batu-batu, dan lain sebagainya. Mereka inilah yang tak mengindahkan seruan Rasulullah, bahkan menentang dan melawannya, seperti yang diperbuat oleh kaum kafir Quraisy serta berbagai kelompok lainya kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam. Mereka telah meminta sembahan-sembahan bahan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka, menyembuhkan, dan memenangkan atas musuh-musuh mereka, menyerahkan qurban, serta bernadzar untuk sesembahan-sesembahan itu. maka tatkala Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengingkari bentuk penyembahan seperti itu, dan mengajak mereka untuk ikhlas beribadah kepada Allah semata, mereka terkejut dan terheran-heran, dan serta merta mengingkari dan menolak dengan sengit da’wah yang suci dan agung itu. mereka berkata dengan sinis:
“Mengapa ia menjadikan Tuhan-tuhan itu menjadi Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang mengherankan.” (Shaad: 5)

Itulah sambutan kaum kafir Qurasy terhadap seruan Nabi. Namun, Rasulullah tak mengendurkan seru-anya, beliau terus mengajak dan mengajak mereka un-tuk mengikuti petunjuk Allah, memperingati mereka tentang bahaya syirik, serta menjelaskan dengan penuh kesabaran, amanat yang sedang diembannya. Akhirnya Allah memberi petunjuk kepada orang yang di kehendaki-Nya, sehinga mereka masuk dalam ikatan Dinullah secara berbondong-bondong. Atas kehendak Allah pula, melalui usaha da’wah Rasulullah yang tak pernah henti, serta gelora jihad para sahabat yang tak pernah surut, Dinul Islam berhasil ditegakkan dan dimenangkan atas din lainya.

Namun, keadaan umat Isalm semakin lama semakin berubah. Kebodohan meliputi kebanyakan manusia, sehingga banyak ummat Islam yang kembali kepada cara hidup jahiliyah. Mereka mengagungkan para nabi, aulia, dan ulma, secara berlebihan (al ghu-luw), dan menjadikan mereka sebagai tempat meminta pertolongan dan perlindungan. Kemusyrikan itu berlan-jut hingga sekarang. Ummat Islam menjadi tak mengerti lagi makna kalimah “Laa Ilaha Illallah”, bahkan secara tak langsung mengingkarinya, seperti halnya yang dilakukan oleh kaum kafir Qurasy dahulu. Mereka kembali mengatakan, seprti kaum qurasy dahulu mengatakan:
“…Kami tidak menyuembah mereka melain-kan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya…” (Az Zumar : 3)

Namun, tentu saja semua pernyataaan itu adalah sangkalan belaka, dan Allah membatalkan itu semua serta menegaskan bahwa barangsiapa yang menyembah selain Dia, maka dia telah syirik kepada-Nya, dan ia telah jatuh kepada kekafiran. Allah berfirman:
“Dan mereka menyembah selain Allah yang tidak dapat memberikan manfaat dan mendatangkan mudharat bagi mereka. Lalu merka berkata,’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah , “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit maupun di bumi? Mahasuci Allah dan Maha tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” (Yunus : 18)

Allah Subhannahu wa Ta'ala menegaskan bahwa bentuk penyem-bahan terhadap apa pun selain kepada-Nya adalah syirik besar, sekalipun mereka menyebut-nya sebagai ibadah serta sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Allah berfirman, yang artinya:
“…Sesungguhnya Allah telah memutuskan di antara merka tentang apa yang mereka perselisihkan. Seseungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” (Az Zumar : 3)

Segala bentuk peribadatan yang mereka tujukan selain kepada Allah, seperti doa, rasa cinta, takut adalah bentuk kekufuran kepada Allah. Dan pernyataan bahwa sesembahan mereka akan memdekatkan diri mereka kepada Allah, adalahdusta besar.

Pada zaman sekarang ini, di antara aqidah kufur yang bertentangn dengan aqidah shahihah sebagaimana yang dituturkan kepada para rasul, adalah pola pikir dan pola hidup Marxisme, Leninisme, Sosialisme, Ba’atsiyah dan yang semacamnya. Doktrin-doktrin yang mereka anut berada di dalam kerangka pikiran tidak adanya aIlah dan konsep hidup materialisme. Secara langsung, mereka mengingkari adanya hari kiamat, serga, meraka, dan ajaran-ajaran Islam lainya. Maka tak pelak lagi, ajaran hidup semacam ini bertentangan total dengan semua syariat sanawi. Inilah jalan hidup yang berujung pada jurang penderitaan dan seburuk-buruknya balasan, di dunia maupun di akhirat.

Di antara aqidah yang bertentangan dengan aqi-dah yang lurus dan bersih itu adalah aqidah yang di yakini kaum kebathinan dan sebagian ajaran kaum sufi, bahwa sebagian dari mereka sebut wali-wali ikut ber-sama Allah dalam mengatur, merancang urusan alam semesta dan mereka disebut sebagai aqthaab, Autaad, Aghwaats, dan yang semacamnya sebagai tuhan-tuhan. Ini adalah syirik yang paling besar dalam tauhid Ru-bubiyyah. Dan bentuk kemusyrikan ini adalah lebih bu-ruk dari tindak kemusyrikan yang dilakukan kaum kafir Arab dulu, sebab kaum kafir Arab saat itu tidak menye-kutukan dalam tauhid Rububiyyah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam ibadah. Dalam hal tauhid Rububiyyah, orang-orang Arab jahili itu masih menga-kui keesaan Allah, sebagaimana tertera dalam firman Allah:
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka ?, niscaya mereka menjawab: ‘Allah.’” (Az Zuk-hruf : 87)

Dalam ayat-Nya yang lain, Allah berfirman:
“Katakanlah,‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapkah yang kuasa menciptakan pendengaran dan pengelihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah,‘Mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?’” (Yunus : 31)

Dan banyak lagi ayat-ayat yang menyatakan seperti ini.
Kemusyrikan yang dilakukan banyak orang pada zaman sekarang ini lebih buruk dibandingkan kaum musyrikin pendahulunya. Di antara mereka ada yang menyekutukan Allah dalam hal tauhid Rubuibiyyah, dan kemusyrikan ini mereka lakukan baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan lapang. Sebagai contoh adalah mereka yang melakukan berbagai tindak kemusyrikan di sisi Al Husain, Al Badawi, dan kubu-ran-kuburan lainya di Mesir. Mereka juga dapat kita temui di sisi Al Idrus di Aden, Al Hadi di Yaman, Ibnu Arabi di Syam, dan Syaikh Abdul Qadir Jailani di Iraq, serta kuburan-kuburan lainya. Bentuk-bentuk penyele-wengan aqidah semacam ini telah mendorong banyak orang untuk mengambil hak-hak Allah. Namun sayangnya banyak orang yang tidak mau mengingkarinya serta enggan untuk menjelaskan kepada mereka prinsip-prinsip ketauhidan sebagaimana yang telah diserukan oleh Nabi Muhammad, serta para nabi dan rasul sebelumnya. Shalawat dan salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada mereka semua.
إِنَّالِلَّهِ وَ إِنَّاإِلَيْهِ رَجِعُونَ
“Maka sesungguhnya kita semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita akan kembali.”

Sementara itu, ada juga sekelompok ummat yang bertentangan dengan aqidah shahihah dalam hal asma dan sifat Allah. Aqidah yang mereka ikuti adalah aqidah bid’ah dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah dan memutarbalikan sifat-sifat Allah Subhannahu wa Ta'ala dan memutarbalikkan sifat-sifat kesempurnaan Allah dengan sifat-sifat yang ghaib dan sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya. Maha tinggi Allah dari segala yang mereka ucapkan.

Termasuk golongan di atas, adalah sekelompok orang yang menafikan sebagian sifat Allah dan menetapkan sifat-sifat lainya bagi Allah. Kelompok ini adalah kelompok Asy’ariyah. Merka menetapkan beberapa sifat bagi Allah dan membandingkannya dengan sifat-sifat yang dinafikan.merka lalu membuat ta’wil atas sifat-sifat itu dengan dalil-dalil yang menyalahi dalil pendengaran dan dalil akal serta bertentangan dengan aqidah shahihah.

Dalam masalah asma dan sifat Allah ini, Ahlussunah wal Jama’ah telah menetapkan bagi Allah nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, baik yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Al Qur’an atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya, Muhammad shallallaahu alaihi wasalam. Ahlus-sunnah menjauhkan diri dari penyertaan Allah dengan makhluk-Nya. Ahlussunnah menerima sepenuhnya ketetapan Allah dan rasul-Nya mengenai sifat dan asma-Nya, tanpa menambah atau menguranginya, sehingga mereka terhindar dari berbagai bentuk kontradiksi akibat penafsiran manusia. Inilah jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan dunia dan ahirat Ash-shirot al mustaqim, jalan yang dilalui oleh pendahulu ummat ini. 



Aqidah Shohihah Versus Aqidah Bathilah (Bagian Kedua)

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

source : buttermilkpress.com
Iman Kepada Para Malikat

Iman Kepada para malikat mengandung makna keyakinan bahwa Allah mempunyai malaikat-malaikat yang diciptakan untuk menaati perintah-perintah-Nya. Para malaikat itu disifati sebagai hamba-hamba yang dimulyakan yang senantaisa melaksanakan perintah:
Allah berfirman:
“Allah mengetahui apa yang ada di hadapan mereka (malaikat) dan yang dibelakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (Al Anbiya : 28)

Para malaikat itu terdirti dari banyak kelompok, diantaranya ada yang diperintahkan untuk mengangkat ‘Arsy, menajga surga, menjaga nereka, mencatat amal perbuatan manusia, dan lain-lainya.

Seorang muslim juga harus mengimani malaikat-malaikat yang nama-namanya diperkenankan Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu diantaranya: Jibril, Mikail, Malik yang menjaga nereka, serta Israfil yang bertugas meniup sangkakala.

Berita-berita mengenai para malaikat tersebut juga terdapat dalam banyak hadits shahih, diantaranya adalah hadits dari Aisyah Radhiallaahu anha yang menyatakan bahwa Nabi telah bersabda:

" خُلِقَتِ المَلاَ ئِكَةُ مِنْ نُوْرٍوَخُلِقْاَلجْاَنُّ مِنْ مَا رِ جٍ مِنْ نَـارِ وَخُلِقَ اَ‍دَمُ ِممَّا وصِفَ لَكُمْ "

“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, dan jin diciptakan dari percikan api, sementara adam diciptakan dari apa yang sudah kamu kenal.” (HR. Muslim) 

Iman Kepada Kitab-Kitab

Secara umum, seorang muslim harus meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab kepada para nabi dab rasul-Nya dengan tujuan untuk menjelaskan kebenaran. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan nereaca (keadilan) supaya manusia dapat me-laksankan keadilan itu….” (Al Hadid: 25)

Firman Allah, yang artinya:
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu, (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama merek akitab yang benar untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan….” (Al Baqarah : 213)

Selanjutnya, secara khusus seorang muslim harus meyakini kitab-kitab yang nama-namanya telah diberitakan Allah kepada manusia, seperti Taurat, Injil, Zabur dan Al Qur’an.
Kitab Al Qur’an adalah kitab yang paling utama diantara kitab-kitab lainya. Al Qur’an , merupakan penutup, dan pembenaran terhadap kitab-kitab lainya. Al Qur’an itulah yang harus diikuti oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Allah menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad Rasulullah untuk dijadikan sumber hukum bagi seluruh manusia.

Di samping sebagai penyejuk dan penyembuh hati, sebagai penerang, atas segala masalah, serta sebagai petunjuk dan rahmat untuk semesta alam. Allah berfirman:
“Dan ini (Al Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan, yang diberkahi; maka ikutilah dia, dan bertaqwalah agar kamu sekalian mendapat rahmat dari Allah.” (Al Anam : 155)

Firman Allah , yang artinya:

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl : 89)
“Katakanlah (Muhammad): ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu sekalian, yaitu Allah yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tiada Ilah selain Dia, yang meng-hidupkan dan mematikan. Oleh karena itu, berimanlah kepada Allah dan utusan-Nya seo-rang nabi yang ummi, yang beriman keapda Al-lah dan firman-firman-Nya, maka ikutilah Dia agar kamu mendapat petunjuk.” (Al Araf : 158)


Iman Kepada Rasul

Secara umum, setiap muslim harus beriman bahwa Allah Ta'ala telah mengutus kepada hamba-hamba-Nya beberapa rasul dari jenis mereka sendiri, untuk menyampaikan kabar gembira dan pemberi peringatan. Mereka itulah para da’i kebenaran yang hakiki. Maka barangsiapa yang menyambut ajakannya, dia akan ber-hasil mencapai puncak kebahagiaan. Dan barangsiapa yang menentang seruan mereka, ia akan terjerumus dalam kesengsaraan dan penyesalan.

Allah berfirman:
“Dan kami telah mengutus kepada setiap ummat seorang utusan, (untuk menyerukan)” beribadah-lah hanya kepada Allah dan jauhilah thaghut (se-sembahan selain Allah)…” (An Nahl : 36)

Firman Allah, yang artinya:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan Allah adalah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (An Nisa : 165)

Secara khusus, setiap muslim harus meyakini rasul-rasul yang namnaya telah diberitakan dalam Al Qur’an dan yang dijelaskan oleh Rasulullah diantara nabi-nabi itu adalah: Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, dan Nabi Muhammad, sebagai nabi terkhir. Kepada para nabi itu, kita haturkan shalawat dan semurni-murninya salam.
Nabi yang paling utama di antara para nabi adalah Nabi Muhammad. Dia adalah para nabi.
Allah berfirman:
“Bukanlah Muhammad itu bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (Al Azab : 40)

--

Aqidah Shohihah Versus Aqidah Bathilah (Bagian Pertama)

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz


source : gallerydunia.com
Muqaddimah

Sanjungan dan pujian hanyalah milik Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, tidak ada lagi nabi setelahnya. Shalawat dan salam juga semoga dilimpahkan atas keluarga dan sahabatnya.

Buku kecil ini mengetengahkan masalah aqidah, masalah yang sangat penting dan menjadi fondasi bagi Dinul Islam. Sebagaimana dimaklumkan oleh ummat Islam, berdasarkan dalil-dalil syar’iyah dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahwa setiap amal serta ucapan dipan-dang benar dan dapat diterima, hanya bila berdasarkan aqidah yang benar. Maka jika aqidah itu tidak benar, dengan sendirinya setiap tindakan maupun ucapan yang bersumber dari aqidah tadi adalah tidak sah atau batal. Allah berfirman:
“…Barangsiapa yang mengingkari keimanan maka batallah amalnya, dan ia termasuk orang-orang yang merugi di akhirat nanti.” (Al Maidah : 5)

“Dan telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan (nabi-nabi) yang sebelum kamu, jika kamu mempersekutukan Allah, pasti hapuslah amal perbuatanmu, dan kamu pasti tergolong orang-orang yang merugi.” (Az Zumar 65)

Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya Al Amin telah memberikan petunjuk, bahwa aqidah yang benar itu meliputi: iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada para rasul, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadar baik dan buruk . keenam prinsip keimanan itulah sumber aqidah yang benar. Dengan keenam prinsip keimanan itu pula Allah menurunkan kitab-kitab-Nya yang mulia dan mengutus rasul-Nya. Cabang dari prinsip-prinsip ini diantaranya adalah keimanan pada hal-hal yang ghaib.

Dalil yang mendasari prinsip-prinsip itu tertera banyak ayat-ayat Al Qur’an. Diantaranya adalah :
“Bukanlah kebaikan jika kamu sekalian men-ghadap wajah-wajahmu ke timur dan barat, namun kebaikan itu adalah barangsiapa yang beriman kepada Allah, hari akhir, malikat, kitab-Nya, dan para nabi….” (Al Baqarah : 177)

“Rasul telah beriman terhadap apa yang telah diturunkan oleh Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul-Nya. Kami tidak membeda-bedakan satu di antara mereka…” (Al Baqarah : 285)

“Wahai orang-orang yang beriman, percayalah kamu sekalian kepada Allah, rasul-Nya, kitab yang diturunkan kepada rasul-Nya (Muhammad) dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang ingkar kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, utusan-utusan-Nya, dan hari akhir , maka sesungguhnya ia telah sesat sejauh-jauhnya.” (An Nisaa’ : 136)

“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa Allah itu Maha Mengetahui apa-apa yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam kitab (Laul Mahfuz), dan hal itu mudah bagi Allah.” (Al Hajj : 70)

Di samping ayat-ayat di atas, hadits-hadits shahih juga banyak yang menegaskan hal yang sama. Di antara sejumlah hadits itu, terdapat sebuah hadits shahih yang mashur, diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari hadits Amirul Mukminin Umar bin Khaththab yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril pernah bertanya kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tentang iman, maka jawab Nabi kepadanya:
اَْلإِ يْمَا نُ أَ نْ تُوْ مِنَ بِا للهِ وَمَلاَ ئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُ سُلِهِ وَاْليَوْمِ الا~ خِرِ وَتُؤْمِنَ بِاْلقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Iman itu adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta beriman kepada qadar baik dan buruk.” (HR. Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah)

Keenam prinsip keimanan tersebut kemudian di bagi lagi menjadi cabang-cabang , diantaranya adalah kewajiban seorang muslim untuk percaya sepenuh hati terhadap hak Allah Subhannahu wa Ta'ala, terhadap tempat kembali di hari akhir, dan perkara-perkara ghaib lainya. 


Iman Kepada Allah

Di antara pengertian iman kepada Allah, adalah iman atau yakin bahwa Allah adalah Illah (sembahan) yang benar. Allah berhak di sembah tanpa menyembah kepada yang lain, karena Dialah pencipta hamba-hamba-Nya, dialah yang memberi rezeki kepada manu-sia, yang mengetahui segala perkara yang dilakukan manusia, baik yang dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Dialah Yang Maha Kuasa, yang memberikan pahala bagi yang taat kepada-Nya, dan mengadzab manusia yang berbuat maksiat. Untuk tujuan ibadah inilah Allah menciptakan jin dan manu-sia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, yang artinya:


“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali un-tuk beribadah kepada-Ku. Aku tak mengharapkan rezeki dari mereka, juga tidak mengharap makanan dari mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki, yang memilki kekuatan lagi san-gat kokoh.” (Adz Dzariat : 56-58)

“Hai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, dan langit sebagai atap; dan Dia menghasilkan den-gan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengada-kan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahuinya.” (Al Baqarah 21-22)


Dalam ayat-Nya yang lain, Allah juga menegaskan bahwa ia mengutus para rasul kepada manusia untuk mengingatkan mereka agar beribadah kepada Allah semata. Ia berfirman :
“Dan Sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap ummat seorang rasul agar mereka beribadah kepada Allah dan mejauhi taghut (sesembahan selain Allah)…” (An Nahl 36)
“Dan tidaklah kami utus seorang rasul sebelum kamu (Muhammad) kecuali kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Ilah yang patut dis-embah selain Aku, oleh karena itu sembahlah Aku.” (Al Anbiya’ : 25)
“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi dan dijelaskan secara rinci, yang di-turunkan dari sisi Allah yang Mahabijaksana dan Mahatau. Agar kamu tidak menyembah selain Al-lah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira keapdamu dari-Nya.” (Hud : 1-2)


Hakikat ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala macam bentuk perhambaan seperti, doa, shalat, shaum, qurban, nadzar, serta berbagai macam ibadah lainya yang dilakukan dengan penuh ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, disertai rasa cinta kepada-Nya dan rasa hina dalam naungan keagungan-Nya.

Nash-nash di bawah ini melengkapi dalil-dalil di atas:
“Maka sembalah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya ingatlah hanya kenpunyaan Allah-lah din yang bersih (dari syirik)….” (Az Zummar 2-3)
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia…” (Al Isra : 23)
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (Al Mu’min : 14)

Sebauh hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Mu’az menyatakan bahwa Rasulullah telah bersabda:
"حَقُّ اللهِ عَلَىالعِبَادِأَنْ يَعْبُدُ وْهُ وَلاَيُشْرِكُوْاِبحِ شَيْأً "
“Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menye-kutukan-Nya.” (HR. Bukhari, Muslim)


Iman kepada Allah juga mencakup keyakinan terhadap semua yang telah diwajibkan Allah keapda manusia, diantaranya yang tercakup dalam Rukun Islam, yaitu: syahadat (persaksian) bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; mengeluarkan zakat; shaum bulan Ramadhan; dan haji ke Baitullah Al Haram bagi yang mampu melakukkanya. Diantara lima rukun tersebut, yang paling penting adalah syahadat Laa Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah.

Shahadat Laa Ilaha Illallah bermakna ketulusan ibadah tertuju hanya kepada Allah semata dan penolakan terhadap sesembahan lain. Tidak ada yang patut disembah selain Allah. Oleh karen itu, setiap yang dis-embah selain Allah, baik berbentuk manusia, malaikat, jin ,atau yang lainya, semuanya itu bathil atau bertolak. Allah berfirman:
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Rabb Yang Haq, dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil.” (Al Hajj : 62)


Allah menciptakan jin dan manusia, mengutus para rasul-Nya, serta menurunkan kitab-kitab-Nya ,adalah demi kepentingan yang pokok ini. Selanjutnya, marilah kita waspadai agar kita tidak menyertakan seseorang atau sesuatu apapun selain Allah dalam pelaksanaan seluruh kegiatan ibadah kita, sehinga tidak kita serahkan keikhlasan kita selain kepada Allah, karen dialah penolong dan sandaran harapan kita.

Di antara pengertian lainya dari prinsip iman kepada Allah, adalah keyakinan bahwa Allah Ta’ala pencipta alam semesta. Dialah pengatur alam semesta dengan ilmu dan kekuasaan yang dimiliki-Nya . dialah Raja di dunia dan akhirat, Rabb semesta Alam.

Allah berfirman:
“Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan Dia sebagai pemeliharanya.” (Az Zumar : 62)
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang te-lah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada saing yang mengi-kutinya dengan cepat, dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan, dan bintang-bintang, masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta Alam.” (Al A’raf : 54)


Iman keapda Allah berarti pula iman kepada nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang agung seperti yang tertera dalam Al Qur’an dan telah ditetapkan pula oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wa-salam, tanpa mengubah, mengingkari, membatasi, dan menyerupakan dengan yang lain. Setiap muslim wajib menyakininya tanpa mempersoalkannya. Nama-nama itu memiliki arti yang agung dan mulia, sesuai dengan sifat-sifat Allah sendiri. Allah berfirman:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Asy Syuro : 11)
“Maka janganlah kamu mengadakan perumpa-maan-perumpamaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahuinya.” (An Nahl : 74)


Inilah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, aqidah para sahabat Rasulullah dan para pengikutnya yang setia. Dan aqidah ini pulalah yan daimbil sebagai rujukan oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dalam kitab-nya “Al Maqolat an Ashhabil Hadits wa Ahlissunnah”, dan juga diambil oleh para ahli ilmu dan iman.
Al Imam Al Awza’i berkata bahwa Az-Zuhri dan Makhul pernah ditanya tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat Allah Ta’ala; mereka berdua menajwab: “Perlukah itu seperti apa yang sudah datang.”
Al Walid bin Muslim pernah berkata bahwa Imam Amlik, Al Awza’i, Al Laits bin Saad, dan Shofyan Ats Tsauri pernah ditanya tentang berita yang datang mengenai sifat-sifat Allah; mereka semua menjawab, “Perlakukan seperti apa yang datang , dan jan-ganlah kamu persoalkan.”

Al Imam Al Awza’i juga mengatakan, “ Kami beserta para tabi’in sepakat bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, dan kami mempercayai sebagaimana yang tersebut dalam Sunnah Rasul tentang sifat-sifat-Nya.”
Dan tatkala Rabi’ah bin Abi Abdurahman gurunya Imam Malik ditanya tentang, ia menjawab “Al istiwa (persemayaman) itu tidak samar, sedang mempersoalkan adalah diluar kemampuan akal. Dari Allah datangnya risalah ini, tanggung jawab Rasulullah untuk menyampaikannya, dan kewajiban kita membenarkannya.”

Demikian pula halnya ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang hal itu, beliau menajwab, “Persemayaman itu sudah jelas artinya tapi bagaimana hakikatnya tidak diketahui, sedang beriman kepada perkara itu adalah kewajiban dan menanyakannya adalah bid’ah.” Kemudian ia berkata kepada si penanya, “Saya tidak melihat kamu keculai sebagai orang bodoh.” Imam Malik lalu memerintahkannya keluar.

Telah diriwayatkan hal seperti itu dari Ummmul Mu’minin Ummu Salmah Radhiallaahu anha.
Al Imam Abu Abdurrahman Abdillah bin Al Mubarak rahimahullah berkata, “Kami mengerti bahwa Rabb kami itu diatas langit, bersemayam diatas ‘arsy, tidak bersatu dengan makhluknya.”

Banyak pernyataan para imam yang senada dengan kutipan-kutipan diatas, namun tentu saja tidak dapat dimuat dalam buku kecil ini. Para pembaca disarankan untuk merujuk langsung kepada kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama Ahlussunnah yang berkaitan dengan masalah ini, misalnya kitab “As sunnah” karangan Abdullah bin Al Imam Ahmad, kitab “At Tauhid” oleh Al Imam Al Jalil Muhammad bin Huzaimah, kitab ‘As Sunnah” karya Abul Qasim Al Laalakaiy Aththobariy, kitab “As Sunnah” karya Abu Bakar bin Abi Ashim, dan risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang merupakan jawaban untuk penduduk Hamaa, Syiria. Di dalam risalah Ibnu Taimiyah tersebut, beliau menjelaskan aqidah Ahlussunnah dengan sangat rinci, dengan mengutip ucapan imam-imam lain serta berbagai dalil syar’iyah maupun aqliyah, dan tercakup di dlamanya bantahan-bantahannya terhadap penentang aqidah Ahlussunnah.

Setiap orang yang pendapatnya bertentangan dengan Ahlussunnah dalam masalah keyakinan terhadap asma dan sifat Allah tentu menyimpang dari dalil naqli dan ‘aqli, serta terperosok dalam kontradiksi nyata dalam setiap yang ditetapkan dan dinaikan. Ahlussunnah telah menetapkan asma dan sifat Allah sebagaimana yang ditetpkan-Nya sendiri dalam Al Qur’an serta sebagimana yang dijelaskan oleh Rasullullah Muhammad tanpa tamtsil (menserupakan dengan makhluk) dan mereka mensucikan Allah dari segala yang menyerupakan-Nya dengan makhluk tanpa ta’thil (menolak asma dan sifat-sifat-Nya) sehingga mereka terhidar dari kerusakan dan kebathilan serta mengamalkan semua dalil.

Inilah sunnah Allah bagi yang berpihak keapda kebenaran, dengan itulah Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya. Para nabi dan rasul itulah pengemban hakikat kebenaran untuk dimenangkan di atas kebathilan.
Allah berfirman:
“Bahkan kami melontarkan yang haq kepada yang bathil, lalu yang haq itu mengahncurkan-nya maka dengan serta merta yang bathil itu len-yap.” (Al Anbiya : 18)
“Tidak orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan keapdamu sesuatu yang benar dan pal-ing baik penjelasannya.” (Al Furqan : 33)


Dengan memperhatikan ayat-ayat di atas, para ulama Ahlussunnah semakin berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, khususnya yang berkenaan dengan dzat Allah, misalnya ayat yang telah disebutkan terdahulu, yaitu:
“Sesungguhnya Rabbmu Allah Subhannahu wa Ta'ala yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy.” (Al A’raf : 54)


Berkaitan dengan ayat diatas, Al Hafidz Ibnu Katsir mengatakan. “Orang-orang mempunyai banyak sekali pendapat tentang masalah ini, tetapi tidak dapat dijadikan sandaran. Kita mengikuti madzab Salafuna Sahlih (para pendahulu kita) seperti Imam Malik, Al Awza’i Ats Tsauri, Al Laits bin Saad, Imam Syafi’i. Imam Ahmad. Ishaq bin Rahawi, serta ulama-ulama lainya, baik yang dahulu maupun yang sekarang. Yaitu: perlakukanlah ayat itu sebagai mana adanya, tanpa dipersoalkan, diserupakan, atau diubah. Dan sangkaan yang tergesa-gesa oleh madzab yang menyerupakan Allah dengan makhluk lain, semuanya tertolak, karena sesungguhnya Allah Ta'ala tidak boleh disamakan dengan makhluknya dan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya: Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

Pendapat Ibnu katsir tersebut didukung dan dipertegas lagi oleh sejumlah imam, daintaranya oleh Na’im bin Hamad Al Khuzaiy, guru Imam Al Bukhari. Ia menyatakan, “Barangsiapa menyamakan Allah dengan makhluk lain, maka dia telah kafir. Dan barangsiapa mengingkari sifat Allah maka dia pun telah kafir. Apa yang telah Allah sifatkan tentang diri-Nya, Apa yang telah ditetapkan oleh rasul-Nya, bukanlah merupakan persamaan dengan makhluk. Barangsiapa yang telah menetapkan sifat Allah, sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat dalam Al Qur’an dan berita-berita yang benar sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala tanpa mengurangi sedikit pun keagungan-Nya, dia telah melangkah pada jalan kebenaran.” 


Objek Kajian Ilmu Aqidah (Bagian 2 Selesai)

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah/sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘Aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

[1]. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[1] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai juga ka-rena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf di dalam mene-tapkan masalah-masalah ‘aqidah.

[2]. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

[3]. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pena-maan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam ‘aqidah.

Kata Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf me-miliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nashrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pe-ngaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [2]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) Rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang per-tama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang di-nukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas per-bedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran al-Qur-an dan as-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sllam dan para Shahabat beliau Radhiyallahu 'anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran tasawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta kezuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilaku-kan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [3]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil Rahimahullah berkata di dalam kitab-nya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaitan telah membuat hamba Allah tertipu atasnya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nashranisme dan Paganisme.” [4]

[4]. Ilahiyyat (Teologi)
Ini adalah nama yang dipakai oleh Mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum Mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala menurut persepsi mereka.

[5]. Kekuatan di Balik Alam Metafisika
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan al-Qur-an dan as-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli.

Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai penger-tian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ber-sumber dari al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1] Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[2] Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al Fauzan (hal. 18-19).
[3] Hal. 50, cet. I, Idaarah Turjuman as-Sunnah, Lahore-Pakistan, 1406 H.
[4] Hal. 10, cet. Riyaasah Idaarah al-Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.


Sumber : almanhaj.or.id